Monday, August 13, 2018

BOSAN SEKOLAH





Memasuki minggu kedua sekolah....

Pagi itu, selepas mandi, seperti biasa, Nyanya mengajukan pertanyaan yang selalu diulang selama seminggu ke belakang.

“Hari apa ini, Mom?"
"Senin, Teh. Kenapa?"
“Kalo Senin, Teteh sekolah nggak?"
"Iya dong, liburnya hari Sabtu dan Minggu."

Setelah itu, biasanya ia akan menjawab “Oke, Teteh mau ke Uyut dulu, ya,” kemudian ia pergi ke rumah Nenek buyutnya (sebelah rumah kami) untuk pamit mau sekolah dulu.

Tapi...hari itu, reaksi Nyanya lain dari biasanya.

Ia menghela nafas panjang, "Haaahhhh Teteh gak mau sekolah ah," katanya sambil menjatuhkan badan secara tengkurap ke lantai mirip si Sadness di film Inside Out.

Ummm...saya berpikir sebentar untuk menentukan reaksi. Untungnya waktu itu tombol "tidak reaktif" sedang on pada diri saya, jadi masih bisa tenang menghadapi Nyanya.

"Emang kenapa gak mau sekolah? Itu lihat, Elsa, Ana, Fatimah udah pada nyamper mau sekolah, tuh!" saya "melempar bola" pretend play.

O-ow! Bola saya tak ia tangkap. Nyanya tak acuh. Matanya masih menatap lantai, "Boseeennn sekolahnya!"

"Bosen kenapa memangnya?" selidik saya.
Nyanya pun menjawab, "Bosen ah sekolahnya! Nulisnya susaaah!"

Saya pun mengingat-ingat kapan saya memintanya menulis yang susah-susah? Atau...apakah saya pernah memintanya menulis dengan cara yang buruk? Apakah saya pernah memaksanya menulis, atau mengejek hasil tulisannya?

Kami memang sering sekali melakukan aktivitas menulis, tapi....rasanya tak ada satu pun pengalaman aktivitas menulis yang buruk selama saya berakting jadi Bu Guru. Hemm..

Jika demikian, sepertinya ada hal lain yang menjadi alasan.

“Jadi, Teteh hari ini gak mau sekolah?”
“Nggak ah!”
“Mau nonton tv, ya?” goda saya.
“Enggak, Teteh mah nonton tv-nya jam 2. Teteh gak mau sekolah. Teteh mau main aja,” Jelasnya.
“Oke.”

Kemudian saya biarkan ia main sesukanya tanpa rasa khawatir. Percaya bahwa aktivitas mainnya ya belajarnya juga.

Saya lihat ia main puzzle, pretend play ngomong-ngomong sendiri sama bis tayo dkk, dan...menulis.



Ih, tadi dia bilang gak mau nulis.

Mungkin bukan itu alasan ia tak mau bersekolah. Analisa saya, ia simply bosan dengan metode belajar sekolah-sekolahan dimana ia duduk di kursi dan saya menerangkan di depan kelas jadi Bu Guru.

Mungkin ia ingin pendekatan belajar yang lain.

Oke. 

Tenang, Nya, kita masih belajar pake cara lain: pendekatan Montessori, Filosofi Waldorf, Reggio apalah-apalah, metode Sentra, atau pake cara belajar malas: bobo-boboan di kasur sambil baca buku seharian juga hayu

Belajar bisa gimana aja, kok, Nya! :*

Sunday, February 18, 2018

BOLEH MEMBANDINGKAN ANAK DENGAN SYARAT INI

BOLEH MEMBANDINGKAN ANAK DENGAN SYARAT INI


Jangan membandingkan anak!
Nggak usah ngebanding-bandingin, deh!

Begitu pesan yang sering saya sering dengar dari para ibu dan orang tua. Mereka menghindari pembicaraan untuk membandingkan anak yang satu dengan lainnya. Atau, dalam satu meme diperlihatkan orang tua yang menghindar ketika ditanya “Anaknya sudah bisa apa?” Dengan alasan tidak mau membandingkan anak, orang tua yang ditanya pun menolak menjawab pertanyaan itu.

Tidak sedikit artikel yang memuat soal bahaya membandingkan anak yang satu dengan yang lainnya. Dikatakan bahwa membandingkan anak dapat membuat anak menjadi minder, pendendam, tidak mudah bergaul, dan sederet karakter buruk lainnya.

Dalam artikel lain disebutkan bahwa membandingkan anak dengan saudara atau temannya adalah salah satu bentuk bullying. Perbandingan bisa memicu anak untuk lebih bersemangat mengejar prestasi, namun bisa perbandingan dilakukan secara keliru, anak akan merasa tidak dihargai. Itu tentu merupakan bullying karena anak merasa tidak nyaman dngan diri sendiri.

Mendengar kata “membandingkan” saja sudah menjadi seperti momok yang menakutkan bagi orang tua. Seperti haram untuk diucapkan.

Sebenarnya apakah membandingkan?

Menurut kamu besar Bahasa Indonesia, membandingkan adalah sebuah aktivitas untuk mengetahui persamaan atau selisih dari dua benda, hal, dan lainnya.

Sadarkah kita, bahwa membandingkan adalah suatu aktivias yang tak bisa kita hindari?

Berat badan anak saya sekian. Eh, kalo berat badan standar bayi usia segini berapa, ya? Begitu pula dengan tinggi badan. Mudahnya, para ibu mencari tahu berat badan dan tinggi badan standar bayi, membacanya, mencari tahu ukuran standar sesuai usia bayinya, kemudian melihat lagi berat badan dan tinggi badan si bayi.

Lebih besar atau lebih kecil?
Lebih tinggi atau lebih rendah?

Membandingkan.

Itu soal fisik.

Perbandingan juga bisa kita lihat dari kemampuan lainnya.

Siapa yang lebih cepat bisa berjalan?
Siapa yang loncatnya lebih tinggi?
Siapa yang lebih cepat berbicara?

Dan juga dari anak lainnya.
Kakak makan lebih banyak.
Adik lebih suka mewarnai.
Kakak lebih cepat memahami instruksi.
Adik lebih cepat bergaul dengan teman baru.

Atau membandingkan keadaan si anak hari ini dan sebelumnya.
Kakak lebih cepat menguasai bahasa Inggris daripada Bahasa Arab. Hari Kakak lebih banyak menangis daripada bulan sebelumnya.
Apakah dengan melakukan perbandingan membuat anak minder? Apakah dengan mengetahui berat badan si anak lebih rendah daripada bayi lain seusianya lantas membuat anak minder dan tidak brgaul?

Bisa iya, bisa tidak.
Anak minder bisa merupakan akibat dari sebuah proses yang panjang. Ilustrasinya begini.
Kita katakan “Dek, kamu lebih pendek daripada kakak.”
Kemungkinan si adik tidak memberikan reaksi negatif, mungkin biasa saja. Tapi berbeda jika kita mengatakan, “Dek, kamu lebih pendek daripada kakak. Pendek itu jelek. Jadi, kamu lebih jelek daripada kakak.”
Bisa dilihat bedanya, kan?
Mengemukakan hasil ukuran yang objektif (terukur) tidak akan membuat anak menjadi buruk. Tambahan penilaian yang subjektif lah yang membuatnya buruk, terdengar buruk.   suatu hasi ukuran dengan keburukanlah yang menjadikannya buruk. Dan jika dibiarkan berulang-ulang berpotensi menimbulkan rasa minder pada diri anak.

Ada satu catatan yang dapat dibuat untuk membuat perbandingan pada anak, yakni tetap objektif. Beberapa hal yang bisa dilakukan:

1.    1  Bandingkan sesuatu yang memang bisa diukur. Lebih cepat, lebih lambat, lebih tinggi, lebih rendah. Ada metode yang jelas dalam pengukuran. Sebaliknya, hindari pengukuran dalam hal-hal yang sifatnya relatif, seperti lebih cantik, tampan, jelek, keren, dan sebagainya.

2.     2 Gunakan bahasa yang santun ketika mengevaluasi anak. Tidak karena dia anak kita, jadi seenaknya berbicara. Gunakan bahasa yang santun dan objektif, serta memotivasi. Contohnya: “Prestasi belajar adik menurun semester ini. Mengapa bisa demikian? Ada yang bisa ibu bantu? Kalau ada kesulitan dalam pelajaran, kamu bisa coba belajar sama Kakak deh” hindari “Jelek banget Dek, nilai kamu semester ini. Kok bisa gitu, sih? Lihat Kakakmu tuh, pinter banget.”

3.   3   Stop nyinyir. Tidak hanya dalam hal membandingkan anak, nyinyir seharusnya menghilang dalam berbagai aspek kehidupan. Nyinyir tidak hanya perlu dihindari pada saat membandingkan anak dengan yang lebih baik, tapi begitu pun sebaliknya. Contoh yang buruk: “Kamu lebih cepat membaca ya, Dek, daripada teman kamu si X. Kamu keren Dek, si X bodoh ya, membaca saja dia sulit.” Sebaliknya, ajakan anak tetap rendah hati dan bersedia membantu. “Alhamdulillah adik sudah bisa membaca, ya. Nanti boleh membantu teman-teman yang belum bisa membaca. Anak yang hebat mau mengajarkan teman-temannya.”


Sunday, February 11, 2018

MISUH-MISUHNYA IBU

MISUH-MISUHNYA IBU

Bapak pulang dari masjid usai melaksanakan sholat dzuhur berjamaah. Menyapa cucunya sebentar, lantas langsung masuk kamar.
“Sreeeet,” tirai kamar ditutup rapat.
“Bapak kemana, Bu?” tanyaku pada Ibu yang sedang main dengan anak keduaku.
“Habis dzuhur itu, jadwal Bapak tidur. Tinggal Ibu bengong sendirian. Bosen. Sepi,” keluh Ibu.

Selama di rumah orang tua, saya mengamati keseharian Ibu dan Bapak. Bapak sudah lama pensiun dari pekerjaannya menjadi guru, sedangkan Ibu adalah Ibu Rumah Tangga. Di luar itu, keduanya sesekali menjadi penceramah atau mengisi acara pengajian di Majelis Taklim. Kegiatan pengajian hanya beberapa kali seminggu.

Ibu bangun pukul 3.30 dini hari. Ia menunaikan sholat tahajud dan tilawah hingga adzan shubuh berkumandang. Kemudian pergi ke masjid untuk sholat shubuh berjamaah. Sepulang dari masjid, Ibu membuat sarapan untuk Bapak, dan menikmatinya sambil menonton tayangan ceramah di televisi. Setelah itu, Ibu membereskan rumah, memasak, mandi, sholat dhuha. Beristirahat sebentar, kemudian makan siang bersama pukul 10.30. Mereka menonton televisi sambil menunggu adzan dzuhur. Setelah adzan dzuhur, Bapak masuk kamar, Ibu ditinggal sendirian.
Ibu dan Bapak baru “bertemu” lagi di waktu makan selanjutnya sekitar pukul 5 sore. Berarti, ada jeda waktu sekitar 5 jam di siang hari untuk Ibu bengong.
“Malam juga bosen. Nonton televisi bosen.”
Saya pun menyarankan Ibu untuk membaca buku.
“Ya sudah. Novel yang kamu kasih itu Ibu tamatkan dua hari.”
Saya pun menyarankan hal lain, seperti bertilawah atau mendengarkan ceramah dari youtube. Ibu bilang itu sudah dilakukannya. Tapi Ibu mengeluh tidak ada teman untuk berbicara.
Perempuan memiliki kebutuhan berbicara sebanyak 20000 kata per hari. Sementara itu, laki-laki Cuma butuh mengeluarkan 7000 kata per hari. Ibu, seorang ibu rumah tangga yang sudah hidup terpisah dari ketiga anaknya, merasa kesepian.
Tidak memiliki teman untuk berbicara.
Rumah sepi.
Waktu terlalu luang setiap harinya.
Saya bandingkan keseharian Ibu dengan saya.
Lima jam bengong. Sungguh itu waktu yang sangat berharga dan amat sangat didambakan oleh saya dan juga teman-teman saya sesama ibu rumah tangga.

Aduh, pengen si kakak cepet masuk sekolah. Lama amat sih libur sekolahnyanya. Panas kepala gue seharian sama anak di rumah. Berantem terus.

Begitu sebuah pesan dari seorang teman di grup pesan sahabat saya.

Sebuah pesan lain bernada serupa menghampiri.

Me time mana me time. Boro-boro bisa bengong ngopi-ngopi baca buku. Ke kamar mandi aja digedor-gedor anak bayi.

Ibu muda dengan anak-anak balita seperti saya sangat mengharapkan waktu bengong yang Ibu saya miliki.Banyak sekali hal yang ingin kami lakukan dalam waktu bengong itu. Berjalan-jalan, membaca buku, atau bahkan cuma menikmati semangkuk mie instan tanpa gangguan rengekan atau tangisan anak.
Ibu saya megeluh terlalu sepi.
Kami, ibu muda, juga mengeluh terlalu ramai.
Ibu saya mengeluh tidak ada teman bicara.
Kami, ibu muda, juga mengeluh terlalu banyak kata-kata di rumah.
Ibu saya mengeluh terlalu banyak bengong.
Kami, ibu muda, juga mengeluh terlalu sibuk.

Ibu muda seperti saya tampaknya perlu hati-hati. Sekarang misuh-misuh terlalu ramai dan sibuk. Di masa tua, mungkin kita misuh-misuh juga terlalu sepi dan bengong.
Kesibukan dan keramaian ini hanya sebentar.

Sementara.

Sunday, January 28, 2018

TAK PERLU KHAWATIR JIKA ANAK TIDAK BERSEKOLAH DI TEMPAT MAHAL


Para ibu yang anaknya sudah mencapai usia tiga tahun, biasanya mulai ketar-ketir pada persoalan sekolah anak. Banyak pertanyaan mulai dipikirkan.

Kapan saya harus memasukkan anak ke sekolah?

Lebih baik masuk sekolah play group terlebih dahulu atau langsung ke taman kanak-kanak, ya?

Sekolah seperti apa yang cocok untuk anak saya?

Full day school atau sekolah biasa?

Dan persoalan yang juga penting adalah...

Berapa sih, biaya sekolah zaman now?

Saya menyimpan brosur sebuah sekolah dasar swasta islam terpadu di Bandung. Sekolah tersebut adalah jenis full day school. Adapun kurikulum yang digunakan di sekolah tersebut adalah gabungan antara kurikulum nasional dan kurikulum khas (agama) yang disusun sendiri. Dalam brosur tersebut tertulis sebagai berikut:

a.       Biaya pendaftaran Rp. 500.000,
      Termasuk formulir dan pendaftaran
b.      Biaya masuk Rp. 20.000.000,-
Termasuk uang pangkal, buku paket pelajaran selama 1 tahun, pakaian sekolah, kegiatan siswa selama 1 tahun, kegiatan ekskul dan SPP bulan Juli 2018
c.       SPP Rp. 1.350.000 / bulan

Kali lain seorang teman menunjukkan dua brosur lain dari sekolah-sekolah yang berbeda. Hasilnya, biaya masuk sekolah dasar swasta di kota Bandung dengan level yang mirip berada di kisaran 20 juta atau lebih.

Jadi, berapakah biaya yang harus dipersiapkan?

Menurut hitungan para perencana keuangan, biaya pendidikan di Indonesia rata-rata meningkat sekitar 15%-20% per tahun. Angka ini lebih dari dua kali lipat rata-rata kenaikan inflasi.

Jadi, kenaikan biaya sekolah anak lebih tinggi daripada kenaikan inflasi per tahun.

Anak saya sekarang berusia 4 tahun. Masih ada waktu dua tahun lagi untuk masuk sekolah dasar. Jika biaya masuk sekolah dasar tahun 20 juta, maka biaya masuk sekolah dasar 2020 adalah sekitar 28 juta rupiah saja. Tidak lupa, biaya bulanan juga ikut naik. Tung hitung hitung, diperkirakan saya perlu mengeluarkan dana satu juta delapan ratus sembilan puluh ribu rupiah per bulannya.

Kalau biaya sekolah segitu, pendapatan keluarga kami harus berapa dong?

Menurut sebuah konsultasi finansial Finansia Consulting, biaya bulanan sekolah maksimal seperlima dari pendapatan minimal orang tua. Jika spp bulanan Rp. 1.890.000,-, maka minimal pendapatan keluarga haruslah sebesar Rp. 9.450.000,-.

Ehm, itu baru biaya sekolah untuk satu anak loh, ya.

Tambah anak, bertambah besar pula alokasi dana pendidikan yang dibutuhkan.

Level yang mirip seperti apa?

Berdasarkan hasil pengamatan pribadi, ada berbagai jenis sekolah swasta di Bandung. Ada sekolah yang menggunakan kurikulum nasional saja layaknya sekolah dasar negeri. Selain itu, ada sekolah yang menggunakan gabungan kurikulum nasional dan kurikulum khas. Bermacam-macam value yang ditawarkan dalam kurikulum khas yang dikembangkan. Misalnya, ada sekolah yang memasukkan value agama, dwibahasa, atau mengadopsi metode tertentu seperti sekolah montessori, sekolah alam, dan sebagainya. Tambahan value itulah yang menjadi nilai tambah sejumlah sekolah.

Bertambah value berarti bertambah pula money value yang diperlukan.

Jadi, pendidikan yang baik cuma untuk kalangan berduit dong?

Bagaimana jika kita tidak mampu memasukkan anak ke sekolah-sekolah mahal itu?

Apakah anak kita tidak akan mendapatkan pendidikan yang terbaik?

Apa yang harus kita lakukan agar anak tetap memperoleh pendidikan terbaik meski tidak masuk ke sekolah mahal?

Apa yang harus kita lakukan, kan tidak semua orang Indonesia mampu mengenyam pendidikan mahal?

Suami saya pernah melakukan penelitian terhadap sekolah-sekolah dasar swasta yang mahal. Ia dan timnya melakukan wawancara terhadap sejumlah orang tua siswa. Asumsinya, sekolah-sekolah yang mahal tersebut memiliki program yang luar biasa, dan tidak dimiliki oleh sekolah lainnya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa program-program antara sekolah mahal dan sekolah biasa tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Meski sekolah mahal menambahkan slogan value tertentu, namun pada prakteknya, program dan kegiatan yang dilaksanakan relatif sama dengan sekolah biasa.

Satu temuan penting dari penelitian itu adalah para orang tua memiliki keterlibatan yang besar pada kegiatan belajar anak. Mereka sadar bahwa mereka sudah mengeluarkan uang dengan nominal yang besar. Dengan alasan itu, mereka berusaha untuk mendapatkan hasil  yang besar pula. Akibatnya, mereka menunjukkan perilaku yang mendorong anak supaya meraih prestasi belajar yang baik. Mereka proaktif menanyakan perkembangan belajar, mengamati hasil belajar siswa, dan turut serta membantu proses belajar di rumah.

Pasi Sahlberg, penulis buku “Finnish Lessons 2.0: What can the world learn from educattional change in Finland”, menyebutkan ada lima hal yang menentukan prestasi belajar anak. Salah satu yang terpenting adalah apa yang dilakukan anak-anak ketika tidak di sekolah.

Jadi, kualitas sekolah bukanlah satu-satunya penentu keberhasilan belajar siswa. Orang tua, kegiatan anak saat di rumah dan selepas jam sekolah juga menjadi penentu penting terhadap prestasi belajar siswa.

Memilih sekolah bagus dan mahal merupakan pilihan yang sangat baik. Jika kita mampu, maka kita perlu memberikan investasi pendidikan terbaik untuk anak. Satu hal yang bisa dilakukan oleh orang tua yang memilih untuk memasukkan anak ke sekolah mahal adalah berkesinambungan. Tidak karena anak sudah dididik oleh guru di sekolah, maka orang tua bisa berlepas tangan dengan pendidikan di rumah. Sebaliknya, orang tua perlu menjalin komunikasi, kerja sama dan terlibat dalam pendidikan selepas jam sekolah.

Sebaliknya, tidak memasukkan anak ke sekolah mahal pun bukan sesuatu yang salah. Anak tetap memiliki potensi meraih prestasi belajar yang luar biasa ‘meskipun’ hanya bersekolah di lembaga pendidikan yang biasa. Orang tua perlu menunjukkan usaha yang maksimal untuk membantu kegiatan belajar anak. Ayah atau ibu bisa membantu kegiatan belajar anak, memberikan tambahan, mengulang pelajaran, membangun kerja sama dan komunikasi dan guru untuk mendapatkan hasil belajar yang optimal.

Jadi, tidak perlu khawatir jika anak anda tidak bersekolah di tempat yang mahal, ya!




Sumber:

Walker, Timothy. 2017. Teach Like Finland. Jakarta: Gramedia.

Wednesday, September 9, 2015

QUIZBREAKING

Alhamdulillaah, proyek nulis kompakan bareng Mameh Ghina sudah setengah jalan. Di tengah perjalanan ini, Mameh Ghina ngajakin bikin kuis, nih. Asik banget ya! Kayak icebreaking kalo lagi seminar-seminar, gitu :)

Terima kasih Mameh Ghina, mau menemani saya menjalankan nulis kompakan ini. Da aku mah apa atuh dibanding Mameh yang udah jadi blogger handal. Hihihi.

Kuis ini berisi dua puluh pertanyaan yang diberikan oleh saya maupun Mameh Ghina. Setiap pertanyaan biasanya mengulik sisi-sisi rahasia kehidupan kami sebagai mamah-mamah yang tidak diceritakan pada publik *cie artess*

Buat apa? Buat lucu-lucuan aja, untuk menyegarkan suasana, kan sudah saya bilang ini mah quizbreaking (quiz seperti icebreaking). Selamat menikmati. *sruput dulu esnya*

- Pertanyaan si Momom -

1. Kenaikan berat badan selama hamil?
Mom: 19,5 kg selama 41minggu kehamilan

Mam: 14 kg

2. Pertama ketemu suami dimana?
Mom: di kelas, mos bareng mahasiswa baru. Yes, doi temen kuliah saya :P

Mam: dicomblangin, tukeran cv, menikah… ahaha… hal yang dulu paling anti nikah cara begitu, tapi malah ngalamin sendiri.

3. Mall yang paling sering dikunjungi sama anak?
Mom: Borma :P

Mam: Borma sih bukan Mall kalee Mom, itu mah warung.. Wkwkwk… Hmm, kalo Sera seringnya ke Bintaro Xchange Mall waktu jaman masih ikut Rockstar Gym.

4. Yang bikin nama anak siapa?
Mom: nama depan saya, nama tengah+terakhir pilihan berdua

Mam: saya semua. salahkan pak suami kurang kreatip…

5. Panggilan momom/mameh siapa yang nentuin?
Mom: bapaknya

Mam: saya. habis gimana dong, stok kreatipnya ada di saya semua *kibas poni* *ditabok sendal jepit si momom*

6. Anak jalan usia berapa
Mom: 13-14 bulan

Mam: 13 bulan

7. Homeschooling: yes or no
Mom: YES!

Mam: 1000 persen Yes. 

8. Dari pertama kelahiran anak sampai skr dibantu art gak?
Mom: Enggak euy. Pingin ih, kayaknya enak yah, santaaiiii :)

Mam: Sera umur 1 tahun lebih baru ada bala bantuan. Enak tau mom, ada ART mah.. Yang nggak enak tuh, pas mbayarnya. *kabur* *bawa sendal jepit biar ga ditabok*

9. Setahun pertama pernah ntipin anak ke org lain buat pergi keluar rumah utk me time
Mom: Enggak juga. Huks. *me time mana me time*

Mam: Iya sama, gimana mau me time, ditinggal merem bentar aja langsung teriak2..

10. Hal yang ingin diberikan sama anak saat ini tapi belum kesampaian
Mom: Buat mainan bikin-bikinan (montessori ala-ala) setiap hari tapi masih sulit ngatur waktu nih. Hiks 

Mam: Bikin proyek video berdua terus di upload ke youtube.  


- Pertanyaan si Mameh -


1. white lie/bohong putih apa yang pernah kamu bilang ke anak?
Mam: pas ngantuk banget mau bobo, bilang mameh nggak ngantuk kok, cuman liatin itu jemuran (padahal mah merem)

Mom: Jemurannya dalam mimpi ya? Haha. Saya bohong sama anak kalau makan makanan berpenyedap rasa (msg) bilangnya ini pedes, jangan makan yah. Padahal gak selalu pedes.

Mom: Jemuran beneran, Mom. Jadi depan kamar kita langsung ngadep ke jemuran gitu..^^

2. hal manis apa yang pernah dibilang anak ke kita?
Mam: “Ayo mameh pasti bisa, kan mameh pinter..” (cara dia nyuruh pas lagi males gerak ambil mainan.)

Mom: Kk Sera bisaaa aja ngerayunya. Saya ngerasa manis banget, kalau anak bilang 'momom' sambil meluk erat dan senyum manis.


3. kejadian lucu di mall pas bareng anak?
Mam: cebokin anak di janitor, kanan kiri lap pel bulukan.  Sampai cleaning servisnya pada ngantri.

Mom: Anak main di playground yg ada di restoran fastfood di Mall. Anak2 lain udah ngantri mau main, Eureka diem di tengah terowongan, ngoceh, ketawa-ketawa asik main sendiri gamau geser, anak2 lain pada ngalah gak main terowongan.

4. paling kesel kalo anak ngapain?
Mam: ga mau makan, ga mau mandi, ga mau tidur. terus begitu ditanya, maunya apa? Dia bilang, “maunya ga mau!” *gigit kursi*

Mom: Ngelepeh makanan.

5. terus kalo udah kesel gitu ngilanginnya gimana?
Mam: stalking instagram

Mom: Usaha terus biar dia mau makan. Ganti makanan, ajak keluar, dlsb. Kalo tetep gak mau, ya coba lagi jam berikutnya.

Mam: sungguh si momom ini ibu yang sabar.. *kagum*

6. Bagian tubuh mana paling berubah setelah lahiran?
Mam: perut, banyak motif batiknya aka strechmarks

Mom: Perut: ada sayatan melintang dan jadi gembyooooor.

Mam: berarti perut kita udah sama2 perlu di permak nih, Mom. Haha.

7. dinner ama suami atau nganter anak main?
Mam: Yaampun, pastinya dinner ama suami lah.  (mustahil tapinya)

Mom: Pastinya dinner sama suami ya, Mam. Dinner romantic ala-ala gitu di mana kek, tapi anak titipin kemana yak? Hahaha.

8. kata-kata pertama keluar dari mulut anak?
Mam: Gajah sama bebeh (8 bulan)

Mom: Mamah, waktu Eureka 7 bulan kurang 2 hari.

9. ada nggak kejadian memalukan menurut kamu pas bareng anak?
Mam: banget, usia 3,5 tahun pulang les balet.  di taksi minta nenen sambil meraung-raung.  sukses bikin pak sopir diem seribu bahasa. 

Mom: Emmm..gak ada. Mungkin karena kita gak tau malu? :D

10. sebutkan hal yang bikin kamu bangga pas jadi ibu?
Mam: berhasil bikin anak lebih nurut dan berakhlak baik. (normatif banget jawabannya)


Mom: Waktu anak tiba2 berhasil melakukan sesuatu yang pernah kita ajarkan beberapa hari sebelumnya. Padahal pas diajarin kayak yang cuek jadi ga expect dia bakal bisa cepet.



Wednesday, August 26, 2015

Stay At Home Mom VS Working Mom

 *Stay At Home Mom = SAHM
*Working Mom= WM


Dulu saya berpikir, bahwa idealnya, setelah memiliki anak, seorang perempuan hendaknya menjadi ibu rumah tangga saja, tidak bekerja. Ia mengurus anaknya sendiri, memastikan pangan, sandang, kesehatan, permainan, pergaulan, dan seluruh kehidupan yang berkaitan deng an si anak. Darimana saya mendapatkan pemikiran seperti itu? Mungkin melihat ibu saya menjadi ibu rumah tangga, bisa mengurus anaknya dengan baik, dan melihat sekeliling saya, ibu-ibu bekerja tampak seperti kesulitan untuk mencari pengasuh atau menitipkan anaknya dimana. Dan lagi saya melihat, orang yang dititipi anak tidak bisa menjadi pengasuh yang ideal. Nenek-nenek yang dititipi terlalu memanjakan anaknya, sementara itu, mbak-mbak yang dititipi anaknya terlalu permisif. Jadilah saya berkesimpulan, secara idela, saya akan menjadi ibu rumah tangga kelak.

Setelah dewasa, terutama ketika kuliah, pikiran saya menjadi semakin luas. Jika memang semua ibu idealnya menjadi ibu rumah tangga, berarti kita tidak akan menemukan berbagai profesi yang berjenis kelamin wanita dong, ya? Misalkan polisi wanita yang memang dibutuhkan? Atau saya akan kesulitan ketika mencari dokter kandungan perempuan, karena tidak nyaman dengan dokter kandungan laki-laki? Mungkin kita juga tidak akan menemukan sosok “ibu guru”, karena semua orang yang berpendidikan guru, memilih menjadi ibu rumah tangga? Lalu kita tidak bisa menemukan seorang ibu yang menjadi psikolog anak, profesi-profesi lainnya yang “sifatnya keibuan” seperti perawat? Bidan? Dokter anak? Guru? Sekretaris? Jika memang seorang perempuan juga dibutuhkan secara profesi, lantas bagaimana kondisi yang ideal ya, apakah ia harus menjadi ibu rumah tangga sja, atau jika harus bekerja, bagaimana seharusnya ia menjadi ibu bekerja?

Kemudian saya mendapati ibu dari teman-teman yang bekerja, tetap menjadi anak yang bahagia, pendidikannya baik. Ketika kecil, rata2 mereka memiliki asisten rumah tangga, dan atau ditemani pula oleh neneknya. Ada pula yang menitipkan pada saudara selagi ibunya bekerja. Atau sekarang muncul lembaga-lembaga penitipan anak, bisa dimanfaatkan di sana sambil anak bermain dan belajar, dan ibu bekerja.

Apakah saya kemudian ingin mengubah posisi dari SAHM menjadi WAHM? J Tidak juga sih. Mungkin saya harus menunggu anak cukup besar untuk ditinggal untuk bisa bekerja. Ada semacam kerinduan, “duh kapan ya gue bisa..sekolah lagi/bekerja? Nunggu anak sampai umur berapa nih, kok nggak gede-gede ya?” hahaha. Jika menunggu anak untuk disapih, terus lanjut mikir, apa udah bisa bekerja atau belum nih.

Tapi jika melihat kondisi ibu-ibu rumah tangga yang anaknya sudah besar kisaran SMA, kuliah, atau bekerja, kita bisa mendapati banyak ibu rumah tangga yang kurang produktif. Mungkin jadinya ia jadi kebanyakan nonton tv aja, di sisa waktu mengurus rumah-dapur. Banyak sekali waktu luang. Berarti di sini ada kekosongan waktu yang memang bisa dimanfaatkan untuk bekerja. Benar, tidak? Seperti mama saya yang kadang suka kesal di rumah, jika kebetulan tidak ada undangan pengajian/ceramah.

Mungkin menjadi SAHM ini hanya sementara, selama anak masih kecil, butuh perhatian, mungkin sampai anak lulus SD? Tapi ada juga WM yang beranggapan jika anak sudah remaja, anak butuh perhatian lebih, dan ia akan berhenti bekerja untuk mengurus anak. Hemm..beda sudut pandang, ya.
Saya sendiri belum memutuskan, akan sampai kapan menjadi SAHM, karena rindu sekali ingin menjalankan profesi, ingin sekolah lagi, ingin bekerja. Apakah setelah anak pertama bisa cukup ditinggal atau dititipkan? Apakah mau produksi anak dulu sesuai keinginan (hahaha), lalu baru bekerja? Entah ya, ini masih menjadi bahan diskusi panja ng bersama sang suami J


Mana yang lebih baik atau buruk, SAHM atau WM?
SAHM atau WM itu sama-sama bernilai nol. Untuk menjadi SAHM atau WM yang positif (baik) atau negatif (buruk), ya tergantung dia SAHM atau WM yang seperti apa. Selain itu, bisa juga dilihat kondisi anak dan keluarganya bagaimana.
Menurut pandangan saya, saya akan menjadi SAHM yang buruk jika:
-         -  Di rumah kerjanya nonton tv, nonton gossippppp
-         - Anak juga diajak nonton tv aja
-         -  Masak seadanya atau jajan junkfood aja
-          - Rumah bersih-bersih seadanya
-          - Banyak leha-leha main handphone

Atau jika saya membayangkan diri saya menjadi WM. WM yang buruk adalah yang:
-    - Fokus bekerja dan tidak membuat rencana di pagi hari, memastikan anak makan apa, main apa, bagaimana
-          - Pergi dinas seenaknya
-          - Titip-titip anak sebanyak-banyaknya seenak-enaknya
-          - Pulang langsung istirahat bobo, tanpa take times with kiddos and husband

Kalau SAHM atau WM yang baik gimana dong? Sebenarnya, saya percaya, secara fitrah, seorang ibu selalu menjadikan rumah dan anak sebagai prioritasnya. Mungkin WM atau SAHM yang seperti saya jelaskan di atas lagi khilaf kali ya :P Yang ada di dalam pikiran seorang ibu pastilah anak makan apa hari ini, main kemana ya biar dia senang, beli buku apa ya, tidurnya cukup atau nggak, rumah harus beres, suami harus sehat, kebutuhan rumah tangga apa yang sudah habis dan urgent dibeli, and so on and so on.

Mungkin ini alasan sebagian ibu memilih menjadi SAHM :)
gambar diambil dari sini

Perbedaannya, seorang SAHM mungkin memiliki waktu yang lebih fleksibel untuk langsung mengerjakan apa-apa yang menjadi kebutuhan rumah dan anaknya, sementara WM perlu mengatur siapa yang akan membantu dirinya untuk menunaikan tugas rumah tangga dan pengasuhan anak sementara waktu. WM bisa meng-hire ART, menitipkan anak pada nenek/kakek si anak atau pada lembaga penitipan anak terpercaya. Jika memang semua sudah terkendali, semua aman kok. Tidak ada yang salah dengan kondisi “ibu bekerja”, tidak ada di rumah, tidak menemani anak sepanjang hari. Semua soal pilihan. Jika memang semua mendukung dan memutuskan untuk menjadi WM, it’s OK. Sebagian WM mungkin memutuskan untuk resign untuk menjadi SAHM. Itu pun oke J Masing-masing pilihan, baik menjadi SAHM ataupun WM sama memiliki keuntungan dan kerugian masing-masing. Pilihan ibu anu mungkin tidak sama untungnya dengan ibu yang lain. Misal, seorang ibu yang single parent tentu lebih memilih bekerja untuk mendapatkan penghasilan, ibu lain yang memiliki anak berkebutuhan khusus memilih menjadi SAHM untuk lebih optimal menemani tumbuh kembang anak.


WAHM is a new SAHM?
Sebuah artikel mengatakan bahwa working at home mom is a new stay at home mom. Saya setuju, WAHM itu adalah seperti sebuah jalan tengah yang damai antara working mom dan stay at home mom. Sang ibu bekerja, namun tetap berada di rumah.

Bekerja bisa dimulai dari mana saja. Sebuah artikel mengatakan membagi beberapa jenis ibu: green mom, artsy mom, churchy mom, atau high tech mom. Kita bisa mulai darimana saja yang kita sukai. Yang ke depannya bisa jadi menghasilkan penghasilan.

Kalau bingung-bingung mau jualan apa. Sudah lupakan apa yang bisa dijual. Menurut saya, lebih baik, apa yang kamu sukai. Suka baca, ya baca dulu; nulis, ya tulis dulu; ngobrol ya ngobrol dulu; masak ya masak dulu; gambar ya gambar dulu. Atau jika memang sudah memiliki profesi yang jelas, ya baiknya dilanjutkan saja J

Selain dari apa yang memang disukai, sebuah pekerjaan bisa jadi datang dari upaya kita mempelajari sesuatu yang baru. Jadi ibu, tentu tidak membebaskan kita dari kebutuhan untuk belajar. Kita perlu untuk mempelajari banyak hal baru, mencari pengetahun dari berbagai sumber, menambah keahlian yang semula tidak kita miliki, biar kita menjadi ibu cerdas J

Betul bahwa menjadi WAHM bukan tanpa drama. Kita mungkin memerlukan banyak penyesuaian, seperti mengatur waktu antara bekerja dan mengurus rumah, memberi anak pengertian ketika kita bekerja, dan lain sebagainya. Saya pribadi merasa WAHM is an ideal mom. Ingin banget jadi WAHM, tapi masih belum kesampaian karena anak masih under 2 yo, masih nenen, masih belum bisa mengatur waktu. Mungkin kalau anak sudah agak besar bisa ditinggal dan anteng sendiri, bisa mulai bekerja. Sekarang waktunya saya belajar duluuuu aja :D

Mengapa WAHM adalah sosok ibu ideal? Saya setuju dengan pendapat mommy hebat-envyable yang satu ini:

Saya ingin sukses, terutama menjadi istri dan ibu, tapi juga ingin bermanfaat untuk orang lain :)

Tuesday, August 11, 2015

DRAMA MENYUSUI

Seperti sudah diceritakan sebelumnya di sini, kegiatan menyusui menjadi salah satu penyebab masa-masa awal menjadi ibu membuat saya kesulitan. Waktu hamil, saya sudah sering membaca artikel maupun buku tentang menyusui, dan waktu itu tekad saya sudah bulat, ingin memberikan ASI eksklusif untuk bayi selama 6 bulan, dilanjutkan dengan pemberian ASI hingga anak usia dua tahun. Saya cukup percaya diri bahwa saya bisa melakukan hal tersebut. Analisis saya, secara fisiologis, saya akan mampu memberikan ASI yang cukup. Mengapa? Ibu saya sanggup memberikan ASI yang cukup bagi anaknya selama 20-24 bulan. Jika kemampuan menyusui yang didukung dengan kondisi payudaranya diturunkan, berarti jika ibu saya mampu, begitu juga dengan saya, kan? Begitu pikiran saya waktu itu. Ilmu sudah dipelajari, motivasi sudah besar, tekad sudah kuat, makin mantaplah saya untuk melakukan kegiatan yang katanya menambah bounding ibu-anak ini. Ketika anak lahir, dan saya mulai menyusui, barulah saya tahu, bahwa menyusui itu TIDAKLAH MUDAH. Penuh drama! Proses menyusui tidaklah semudah membuka kancing bajunya. Atau jika sekarang banyak dijual baju menyusui tanpa kancing resleting, yang tinggal membuka lubang diantara dua lapisan kain saja, proses memberikan asi kepada bayi tidaklah semudah itu. Menyusui membutuhkan proses adaptasi yang besar dalam berbagai hal, seperti:

1.       Flat nipple
Dikarenakan payudara saya berjenis flat nipple, jadi waktu awal-awal menyusui, butuh perhatian ekstra supaya si bayi bisa latch on dengan benar. Payudara harus dipegang sedemikian rupa, ditahan, supaya si nipple benar-benar masuk ke mulut bayi, dan ASI benar-benar terhisap dengan baik.  Sebagai tambahan, mulut bayi newborn masih mungil sekali, sehingga masih perlu bantuan agar aerola masuk ke mulut bayi. (teknik latch on bisa googling, ya!) Bisa dikatakan, menahan payudara selama itu PEGAL BANGET! J

2.       Menyusui =  siap diinterupsi
Yaitu bersedia untuk menyetop kegiatan yang akan dilakukan ketika panggilan untuk nenen itu datang. Lagi enak tidur, “ngekkk” anaknya nangis, lagi masak “ngekk”, lagi main, jalan-jalan, semua kegiatan, dimana pun, kapan pun, siap-siap untuk diinterupsi. Kegiatan pun banyak skip-nya. “Bentar yah, nenenin dulu”, itu kalimat pemberitahuan favorit kepada teman saat chatting, makan bareng, hang out.
Oh, lantas bagaimana dengan ibu bekerja yang menggunakan asi perah (ASIP)? Rasanya sama saja, ya. Atau mungkin lebih berat? Si ibu perlu menyediakan waktu di tengah-tengah pekerjaannya. Teman pernah bercerita ia meeting sambil memerah, istirahat memerah lagi, bahkan sengaja bangun tengah malam untuk menambah tabungan asip anaknya.

Pernah juga ngalamin jadi mamahperah, waktu babyEu dirawat karena kadar bilirubin yang tinggi

3.       Mastisis meringis
Rasanya semua ibu menyusui pernah mengalami hal ini, ya. Rasanya nggak enak banget, deh. Payudara kita bengkak, memanas dan sakit luar biasa. Seperti disayat sembilu. Kabar ‘baiknya’, hal itu bisa berlangsung berhari-hari. Siap-siap meringis! :D
Baby Eu juga pernah nyicip sufor ini sekian puluh mililiter,
karena ASIP yang di atas itu tidak mencukupi sampai waktu malam
Tuntunan yang bagus untuk ngASI

Tapi meski demikian, menurut saya pribadi, pilihan memberikan ASI tetaplah pilihan yang lebih mudah daripada harus minum susu formula. Masalah nutrisi, kandungan asi, sudah semua busui tahu deh. Saya tidak akan membahas soal itu. Menurut saya, ngASI meski penuh drama, tapi lebih praktis, lebih mudah,  karena:

1.       Mengurangi gembolan bekal ketika bepergian
Ketika kita memiliki bayi, volume bagasi bisa meningkat tiga kali lipat. Banyak sekali yang barang-barang bayi yang harus dibawa: pakaian ganti yang jumlahnya lebih banyak dari pakaian ibunya, diapers, mainan, tissue basah dan kering, stroller, gendongan, selimut, dlsb.
Jika bayi kita mengonsumsi susu formula, siap-siap gembolan bertambah lagi menjadi empat kali lipat. Tambahan beban itu, karena kita harus membawa sejumlah botol dot (dan cadangannya), alat-alat pencuci dot, kaleng susu bubuk, sendok, dan termos.
Dengan demikian, ngASI berarti mengurangi seperempat beban gembolan dibanding menggunakan sufor. Seperempat itu kedengeran sedikit dan tidak terlalu signifikan? O-ow, pekerjaan tidak hanya bertambah pada membawa tambahan gembolan saja, tapi juga pada aktivitas membersihkan, membereskan alat-alat yang digunakan untuk bayi ngedot.

2.       Gak khawatir masalah bakteri
Botol dot harus selalu melalui proses sterilisasi sebelum digunakan, proses pencucian harus menggunakan sabun khusus. Belum lagi drama dotnya meleleh, gara-gara kepanasan waktu direbus (sterilisasi). Berbeda dengan payudara yang sudah steril dari sononya. No sterilizer, anti layu, anti rusak. :D

3.       Biaya susu formula yang jika dikalkulasikan untuk dua tahun minum susu formula bisa dipergunakan untuk jajan-jajan cantik ibu dan anak 

4.       Bagi ibu menyusui, cukup melakukan satu langkah untuk meredakan kehausan bayi sangat mudah, tinggal buka kancing baju, lep, bayi pun bisa minum. Sementara yang nyufor, harus melakukan sejumlah langkah. Dari mulai menyiapkan botol, susu, campur air panas, dan ini, dan itu.

Jadi, meski proses menyusui memang penuh drama di awal, tapi bagi saya pribadi, itu menjadi pilihan yang paling baik dan terutama praktis. Hehehe. Semoga saya bisa menyusui Eureka hingga dua tahun, hingga anak kedua, ketiga dan seterusnya. Aamiin. Jujur, sampai sekarang terkadang masih suka nggak sabar karena banyak diinterupsi, namun yang selalu saya ingat adalah bahwa drama ini cuma dua tahun, dan manfaatnya seumur hidup. Bersusah-susah sebentar, demi kesehatan anak, kekebalan tubuh yang baik, dan terutama bounding antara ibu-anak. Mantra saya yang selalu saya ucapkan jika sedang tidak sabar adalah “Kalem Mom, drama pasti berlalu”. Kecuali jika habis menyapih, langsung bersiap untuk menambah momongan, maka Si Momom harus bersiap estafet jadi sapi perah, deh. Hahaha.