Dari dulu saya selalu meyakini
bahwa anak adalah harapan setiap orang tuanya. Hemm..mungkin sebenarnya lebih
luas ya, anak tidak hanya tumpuan asa orang tuanya, tapi juga lingkungan
sekitarnya, negaranya, dan agamanya. Bisa jadi itulah kenapa, makanya selalu
ada doa “semoga menjadi anak yang berguna bagi nusa bangsa serta agama.”
Berangkat dari keyakinan bahwa
anak adalah harapan, sebagian orang tua memiliki cara pandang yang lebih
spesifik (baca: sempit) lagi. Mereka menaruh harapan-harapan yang demikian
spesifik pada anaknya, yang seringkali harapan tersebut, sebenarnya adalah
harapan untuk dirinya sendiri (pribadi).
Harapan tersebut bisa merupakan harapan yang tidak tuntas atau tidak tercapai
oleh si orang tua, atau cita-cita yang
tercapai dan berharap si anak dapat melanjutkan tongkat estafet dari
keberhasilannya.
Sebelum ngomongin anak sendiri, dan harapan saya terhadap anak, saya mau
berbagi pengalaman tentang topik harapan ini, dari hubungan saya dengan orang
tua saya.
Jadi, ceritanya, dari dulu Bapak kepingin banget saya berprofesi seperti
beliau, jadi guru dan jadi Pegawai Negeri Sipil. Nah loh! Alasan kenapa harus
guru dan pns nggak tahu persis sih, dan tidak tersampaikan dengan baik,
mengingat pola komunikasi kami juga kurang lancer; kurang dua arah. Yang saya
tangkap sih, dengan saya jadi PNS,
penghasilan saya akan aman tiap bulan, punya pensiunan, hidup lancar. Kurang
lebih demikian-lah. Dan kenapa harus
guru? Entah ya, mungkin karena beliau juga berprofesi guru, atau jadi guru itu gak mungkin gak mulia. Gitu kali, ya.
Nyatanya, harapan Bapak tidak
sama dengan yang saya inginkan. Saya senang dan memang pernah bekerja menjadi
guru, tapi tidak pernah berminat menjadi PNS. Karena Bapak tetap keukeuh dengan ke-PNS-an ini, beberapa
tahun lalu saya akhirnya mendaftar jadi PNS. Bapak sampai nganter saya kesana
kemari untuk mendapatkan segala macam persyaratan pendaftaran PNS yang
segambreng itu. Saya kirim draft persyaratan itu, tapi nggak saya lengkapi, ada
satu syarat yang sengaja tidak dimasukkan, karena memang ogah banget jadi PNS.
Duhhh, dosa deh ya nipu orang tua L
Dan inilah saya, sampai saat ini,
tidak memiliki profesi seperti yang Bapak inginkan. Ibu rumah tangga, (cuma)
jadi guru untuk anaknya sendiri, dan bukan pegawai negeri sipil.
Bapak lagi memanjatkan doa supaya Eureka jadi PNS-kah? :)) |
Bagaimana harapan saya pada
Eureka? Apakah saya juga menaruh harapan yang tidak saya capai padanya? Misal,
saya ingin Eureka jadi fashion designer, jadi pengusaha sukses. Ataukah saya
ingin Eureka sama persis seperti saya? Duh, saya kok rasanya narsis banget,
kalo berharap Eureka nantinya akan seperti saya. Da aku mah apa atuh J
Pengalaman saya dengan orang tua saya (baca:
bapak), saya jadikan cermin bagi saya mendidik anak kelak. Itu yang saya pegang
dari dulu. Termasuk soal si harapan-harapan ini. Suami kadang suka bercanda, “Mudah-mudahan
anak kita jadi dokter ya, biar bisa mengurus kita kalo udah tua”. Terus lain waktu,
suami bilang “ah kayaknya Eureka cocok jadi designer deh,”, mungkin itu karena
dia kebanyakan browsing tentang rumah idaman. Yang paling baru, suami suka
bilang “Eureka mudah-mudahan jadi professor,”. Saya sih selalu menimpali dengan
“Ya jadi apa aja boleh”
Bercermin pada apa yang saya
lakukan terhadap orang tua saya, yaitu gagal memenuhi harapan bapak, maka saya
juga belajar untuk tidak menaruh harapan secara spesifik pada anak. Cukuplah saya
menaruh ‘harapan yang umum’ saja, semoga anak menjadi anak yang sholeh,
bermanfaat, dalam bidang apapun yang ia bisa dan mau menjalankannya, semoga
bidang yang ia tekuni bisa membawa kebaikan bagi dirinya, lingkungannya, dan
dunia. Aamiin.
Anakku bukanlah tempat untukku
menaruh harapanku. Aku hanya membantu agar ia bisa menjadi dirinya sendiri,
dengan harapan-harapan kebaikan yang akan ia lukis dengan tangan indahnya.
“Putramu bukanlah putramu,
mereka adalah putra-putri kehidupan yang mendambakan hidup mereka sendiri.
Mereka datang melalui kamu namun tidak dari kamu. Dan sungguh pun bersamamu,
mereka tetap bukan milikmu. Engkau dapat memberikan kasih sayangmu, tapi bukan
pendirianmu. Sebab mereka memiliki pendirian sendiri. Engkau dapat memberikan
tempat pijakan bagi raganya, tapi tidak bagi jiwanya – lantaran jiwa mereka ada
di masa mendatang yang tidak bisa kau capai sekalipun dalam mimpi. Engkau boleh
berusaha mengikuti alam mereka, tapi jangan berharap mereka mengikuti alammu.
Sebab hidup tidaklah surut ke belakang, tidak pula tertambat di masa lalu.
Engkau adalah busur dari anak panah kehidupan anak-anakmu yang mampu melesatkan
mereka menuju masa depan.” (Kahlil Gibran)