Wednesday, July 1, 2015

ANAKKU BUKAN HARAPANKU


Dari dulu saya selalu meyakini bahwa anak adalah harapan setiap orang tuanya. Hemm..mungkin sebenarnya lebih luas ya, anak tidak hanya tumpuan asa orang tuanya, tapi juga lingkungan sekitarnya, negaranya, dan agamanya. Bisa jadi itulah kenapa, makanya selalu ada doa “semoga menjadi anak yang berguna bagi nusa bangsa serta agama.”

Berangkat dari keyakinan bahwa anak adalah harapan, sebagian orang tua memiliki cara pandang yang lebih spesifik (baca: sempit) lagi. Mereka menaruh harapan-harapan yang demikian spesifik pada anaknya, yang seringkali harapan tersebut, sebenarnya adalah harapan untuk  dirinya sendiri (pribadi). Harapan tersebut bisa merupakan harapan yang tidak tuntas atau tidak tercapai oleh si orang tua, atau  cita-cita yang tercapai dan berharap si anak dapat melanjutkan tongkat estafet dari keberhasilannya.

Sebelum ngomongin anak sendiri, dan harapan saya terhadap anak, saya mau berbagi pengalaman tentang topik harapan ini, dari hubungan saya dengan orang tua saya.

Jadi, ceritanya, dari dulu Bapak kepingin banget saya berprofesi seperti beliau, jadi guru dan jadi Pegawai Negeri Sipil. Nah loh! Alasan kenapa harus guru dan pns nggak tahu persis sih, dan tidak tersampaikan dengan baik, mengingat pola komunikasi kami juga kurang lancer; kurang dua arah. Yang saya tangkap sih, dengan saya jadi PNS, penghasilan saya akan aman tiap bulan, punya pensiunan, hidup lancar. Kurang lebih demikian-lah. Dan kenapa harus guru? Entah ya, mungkin karena beliau juga berprofesi guru, atau jadi guru itu gak mungkin gak mulia. Gitu kali, ya.  

Nyatanya, harapan Bapak tidak sama dengan yang saya inginkan. Saya senang dan memang pernah bekerja menjadi guru, tapi tidak pernah berminat menjadi PNS. Karena Bapak tetap keukeuh dengan ke-PNS-an ini, beberapa tahun lalu saya akhirnya mendaftar jadi PNS. Bapak sampai nganter saya kesana kemari untuk mendapatkan segala macam persyaratan pendaftaran PNS yang segambreng itu. Saya kirim draft persyaratan itu, tapi nggak saya lengkapi, ada satu syarat yang sengaja tidak dimasukkan, karena memang ogah banget jadi PNS. Duhhh, dosa deh ya nipu orang tua L

Dan inilah saya, sampai saat ini, tidak memiliki profesi seperti yang Bapak inginkan. Ibu rumah tangga, (cuma) jadi guru untuk anaknya sendiri, dan bukan pegawai negeri sipil. 

Bapak lagi memanjatkan doa supaya Eureka jadi PNS-kah? :))

Bagaimana harapan saya pada Eureka? Apakah saya juga menaruh harapan yang tidak saya capai padanya? Misal, saya ingin Eureka jadi fashion designer, jadi pengusaha sukses. Ataukah saya ingin Eureka sama persis seperti saya? Duh, saya kok rasanya narsis banget, kalo berharap Eureka nantinya akan seperti saya. Da aku mah apa atuh J

Pengalaman saya dengan orang tua saya (baca: bapak), saya jadikan cermin bagi saya mendidik anak kelak. Itu yang saya pegang dari dulu. Termasuk soal si harapan-harapan ini. Suami kadang suka bercanda, “Mudah-mudahan anak kita jadi dokter ya, biar bisa mengurus kita kalo udah tua”. Terus lain waktu, suami bilang “ah kayaknya Eureka cocok jadi designer deh,”, mungkin itu karena dia kebanyakan browsing tentang rumah idaman. Yang paling baru, suami suka bilang “Eureka mudah-mudahan jadi professor,”. Saya sih selalu menimpali dengan “Ya jadi apa aja boleh”

Bercermin pada apa yang saya lakukan terhadap orang tua saya, yaitu gagal memenuhi harapan bapak, maka saya juga belajar untuk tidak menaruh harapan secara spesifik pada anak. Cukuplah saya menaruh ‘harapan yang umum’ saja, semoga anak menjadi anak yang sholeh, bermanfaat, dalam bidang apapun yang ia bisa dan mau menjalankannya, semoga bidang yang ia tekuni bisa membawa kebaikan bagi dirinya, lingkungannya, dan dunia. Aamiin. 

Anakku bukanlah tempat untukku menaruh harapanku. Aku hanya membantu agar ia bisa menjadi dirinya sendiri, dengan harapan-harapan kebaikan yang akan ia lukis dengan tangan indahnya.





“Putramu bukanlah putramu, mereka adalah putra-putri kehidupan yang mendambakan hidup mereka sendiri. Mereka datang melalui kamu namun tidak dari kamu. Dan sungguh pun bersamamu, mereka tetap bukan milikmu. Engkau dapat memberikan kasih sayangmu, tapi bukan pendirianmu. Sebab mereka memiliki pendirian sendiri. Engkau dapat memberikan tempat pijakan bagi raganya, tapi tidak bagi jiwanya – lantaran jiwa mereka ada di masa mendatang yang tidak bisa kau capai sekalipun dalam mimpi. Engkau boleh berusaha mengikuti alam mereka, tapi jangan berharap mereka mengikuti alammu. Sebab hidup tidaklah surut ke belakang, tidak pula tertambat di masa lalu. Engkau adalah busur dari anak panah kehidupan anak-anakmu yang mampu melesatkan mereka menuju masa depan.” (Kahlil Gibran)