Monday, August 13, 2018

BOSAN SEKOLAH





Memasuki minggu kedua sekolah....

Pagi itu, selepas mandi, seperti biasa, Nyanya mengajukan pertanyaan yang selalu diulang selama seminggu ke belakang.

“Hari apa ini, Mom?"
"Senin, Teh. Kenapa?"
“Kalo Senin, Teteh sekolah nggak?"
"Iya dong, liburnya hari Sabtu dan Minggu."

Setelah itu, biasanya ia akan menjawab “Oke, Teteh mau ke Uyut dulu, ya,” kemudian ia pergi ke rumah Nenek buyutnya (sebelah rumah kami) untuk pamit mau sekolah dulu.

Tapi...hari itu, reaksi Nyanya lain dari biasanya.

Ia menghela nafas panjang, "Haaahhhh Teteh gak mau sekolah ah," katanya sambil menjatuhkan badan secara tengkurap ke lantai mirip si Sadness di film Inside Out.

Ummm...saya berpikir sebentar untuk menentukan reaksi. Untungnya waktu itu tombol "tidak reaktif" sedang on pada diri saya, jadi masih bisa tenang menghadapi Nyanya.

"Emang kenapa gak mau sekolah? Itu lihat, Elsa, Ana, Fatimah udah pada nyamper mau sekolah, tuh!" saya "melempar bola" pretend play.

O-ow! Bola saya tak ia tangkap. Nyanya tak acuh. Matanya masih menatap lantai, "Boseeennn sekolahnya!"

"Bosen kenapa memangnya?" selidik saya.
Nyanya pun menjawab, "Bosen ah sekolahnya! Nulisnya susaaah!"

Saya pun mengingat-ingat kapan saya memintanya menulis yang susah-susah? Atau...apakah saya pernah memintanya menulis dengan cara yang buruk? Apakah saya pernah memaksanya menulis, atau mengejek hasil tulisannya?

Kami memang sering sekali melakukan aktivitas menulis, tapi....rasanya tak ada satu pun pengalaman aktivitas menulis yang buruk selama saya berakting jadi Bu Guru. Hemm..

Jika demikian, sepertinya ada hal lain yang menjadi alasan.

“Jadi, Teteh hari ini gak mau sekolah?”
“Nggak ah!”
“Mau nonton tv, ya?” goda saya.
“Enggak, Teteh mah nonton tv-nya jam 2. Teteh gak mau sekolah. Teteh mau main aja,” Jelasnya.
“Oke.”

Kemudian saya biarkan ia main sesukanya tanpa rasa khawatir. Percaya bahwa aktivitas mainnya ya belajarnya juga.

Saya lihat ia main puzzle, pretend play ngomong-ngomong sendiri sama bis tayo dkk, dan...menulis.



Ih, tadi dia bilang gak mau nulis.

Mungkin bukan itu alasan ia tak mau bersekolah. Analisa saya, ia simply bosan dengan metode belajar sekolah-sekolahan dimana ia duduk di kursi dan saya menerangkan di depan kelas jadi Bu Guru.

Mungkin ia ingin pendekatan belajar yang lain.

Oke. 

Tenang, Nya, kita masih belajar pake cara lain: pendekatan Montessori, Filosofi Waldorf, Reggio apalah-apalah, metode Sentra, atau pake cara belajar malas: bobo-boboan di kasur sambil baca buku seharian juga hayu

Belajar bisa gimana aja, kok, Nya! :*

Sunday, February 18, 2018

BOLEH MEMBANDINGKAN ANAK DENGAN SYARAT INI

BOLEH MEMBANDINGKAN ANAK DENGAN SYARAT INI


Jangan membandingkan anak!
Nggak usah ngebanding-bandingin, deh!

Begitu pesan yang sering saya sering dengar dari para ibu dan orang tua. Mereka menghindari pembicaraan untuk membandingkan anak yang satu dengan lainnya. Atau, dalam satu meme diperlihatkan orang tua yang menghindar ketika ditanya “Anaknya sudah bisa apa?” Dengan alasan tidak mau membandingkan anak, orang tua yang ditanya pun menolak menjawab pertanyaan itu.

Tidak sedikit artikel yang memuat soal bahaya membandingkan anak yang satu dengan yang lainnya. Dikatakan bahwa membandingkan anak dapat membuat anak menjadi minder, pendendam, tidak mudah bergaul, dan sederet karakter buruk lainnya.

Dalam artikel lain disebutkan bahwa membandingkan anak dengan saudara atau temannya adalah salah satu bentuk bullying. Perbandingan bisa memicu anak untuk lebih bersemangat mengejar prestasi, namun bisa perbandingan dilakukan secara keliru, anak akan merasa tidak dihargai. Itu tentu merupakan bullying karena anak merasa tidak nyaman dngan diri sendiri.

Mendengar kata “membandingkan” saja sudah menjadi seperti momok yang menakutkan bagi orang tua. Seperti haram untuk diucapkan.

Sebenarnya apakah membandingkan?

Menurut kamu besar Bahasa Indonesia, membandingkan adalah sebuah aktivitas untuk mengetahui persamaan atau selisih dari dua benda, hal, dan lainnya.

Sadarkah kita, bahwa membandingkan adalah suatu aktivias yang tak bisa kita hindari?

Berat badan anak saya sekian. Eh, kalo berat badan standar bayi usia segini berapa, ya? Begitu pula dengan tinggi badan. Mudahnya, para ibu mencari tahu berat badan dan tinggi badan standar bayi, membacanya, mencari tahu ukuran standar sesuai usia bayinya, kemudian melihat lagi berat badan dan tinggi badan si bayi.

Lebih besar atau lebih kecil?
Lebih tinggi atau lebih rendah?

Membandingkan.

Itu soal fisik.

Perbandingan juga bisa kita lihat dari kemampuan lainnya.

Siapa yang lebih cepat bisa berjalan?
Siapa yang loncatnya lebih tinggi?
Siapa yang lebih cepat berbicara?

Dan juga dari anak lainnya.
Kakak makan lebih banyak.
Adik lebih suka mewarnai.
Kakak lebih cepat memahami instruksi.
Adik lebih cepat bergaul dengan teman baru.

Atau membandingkan keadaan si anak hari ini dan sebelumnya.
Kakak lebih cepat menguasai bahasa Inggris daripada Bahasa Arab. Hari Kakak lebih banyak menangis daripada bulan sebelumnya.
Apakah dengan melakukan perbandingan membuat anak minder? Apakah dengan mengetahui berat badan si anak lebih rendah daripada bayi lain seusianya lantas membuat anak minder dan tidak brgaul?

Bisa iya, bisa tidak.
Anak minder bisa merupakan akibat dari sebuah proses yang panjang. Ilustrasinya begini.
Kita katakan “Dek, kamu lebih pendek daripada kakak.”
Kemungkinan si adik tidak memberikan reaksi negatif, mungkin biasa saja. Tapi berbeda jika kita mengatakan, “Dek, kamu lebih pendek daripada kakak. Pendek itu jelek. Jadi, kamu lebih jelek daripada kakak.”
Bisa dilihat bedanya, kan?
Mengemukakan hasil ukuran yang objektif (terukur) tidak akan membuat anak menjadi buruk. Tambahan penilaian yang subjektif lah yang membuatnya buruk, terdengar buruk.   suatu hasi ukuran dengan keburukanlah yang menjadikannya buruk. Dan jika dibiarkan berulang-ulang berpotensi menimbulkan rasa minder pada diri anak.

Ada satu catatan yang dapat dibuat untuk membuat perbandingan pada anak, yakni tetap objektif. Beberapa hal yang bisa dilakukan:

1.    1  Bandingkan sesuatu yang memang bisa diukur. Lebih cepat, lebih lambat, lebih tinggi, lebih rendah. Ada metode yang jelas dalam pengukuran. Sebaliknya, hindari pengukuran dalam hal-hal yang sifatnya relatif, seperti lebih cantik, tampan, jelek, keren, dan sebagainya.

2.     2 Gunakan bahasa yang santun ketika mengevaluasi anak. Tidak karena dia anak kita, jadi seenaknya berbicara. Gunakan bahasa yang santun dan objektif, serta memotivasi. Contohnya: “Prestasi belajar adik menurun semester ini. Mengapa bisa demikian? Ada yang bisa ibu bantu? Kalau ada kesulitan dalam pelajaran, kamu bisa coba belajar sama Kakak deh” hindari “Jelek banget Dek, nilai kamu semester ini. Kok bisa gitu, sih? Lihat Kakakmu tuh, pinter banget.”

3.   3   Stop nyinyir. Tidak hanya dalam hal membandingkan anak, nyinyir seharusnya menghilang dalam berbagai aspek kehidupan. Nyinyir tidak hanya perlu dihindari pada saat membandingkan anak dengan yang lebih baik, tapi begitu pun sebaliknya. Contoh yang buruk: “Kamu lebih cepat membaca ya, Dek, daripada teman kamu si X. Kamu keren Dek, si X bodoh ya, membaca saja dia sulit.” Sebaliknya, ajakan anak tetap rendah hati dan bersedia membantu. “Alhamdulillah adik sudah bisa membaca, ya. Nanti boleh membantu teman-teman yang belum bisa membaca. Anak yang hebat mau mengajarkan teman-temannya.”


Sunday, February 11, 2018

MISUH-MISUHNYA IBU

MISUH-MISUHNYA IBU

Bapak pulang dari masjid usai melaksanakan sholat dzuhur berjamaah. Menyapa cucunya sebentar, lantas langsung masuk kamar.
“Sreeeet,” tirai kamar ditutup rapat.
“Bapak kemana, Bu?” tanyaku pada Ibu yang sedang main dengan anak keduaku.
“Habis dzuhur itu, jadwal Bapak tidur. Tinggal Ibu bengong sendirian. Bosen. Sepi,” keluh Ibu.

Selama di rumah orang tua, saya mengamati keseharian Ibu dan Bapak. Bapak sudah lama pensiun dari pekerjaannya menjadi guru, sedangkan Ibu adalah Ibu Rumah Tangga. Di luar itu, keduanya sesekali menjadi penceramah atau mengisi acara pengajian di Majelis Taklim. Kegiatan pengajian hanya beberapa kali seminggu.

Ibu bangun pukul 3.30 dini hari. Ia menunaikan sholat tahajud dan tilawah hingga adzan shubuh berkumandang. Kemudian pergi ke masjid untuk sholat shubuh berjamaah. Sepulang dari masjid, Ibu membuat sarapan untuk Bapak, dan menikmatinya sambil menonton tayangan ceramah di televisi. Setelah itu, Ibu membereskan rumah, memasak, mandi, sholat dhuha. Beristirahat sebentar, kemudian makan siang bersama pukul 10.30. Mereka menonton televisi sambil menunggu adzan dzuhur. Setelah adzan dzuhur, Bapak masuk kamar, Ibu ditinggal sendirian.
Ibu dan Bapak baru “bertemu” lagi di waktu makan selanjutnya sekitar pukul 5 sore. Berarti, ada jeda waktu sekitar 5 jam di siang hari untuk Ibu bengong.
“Malam juga bosen. Nonton televisi bosen.”
Saya pun menyarankan Ibu untuk membaca buku.
“Ya sudah. Novel yang kamu kasih itu Ibu tamatkan dua hari.”
Saya pun menyarankan hal lain, seperti bertilawah atau mendengarkan ceramah dari youtube. Ibu bilang itu sudah dilakukannya. Tapi Ibu mengeluh tidak ada teman untuk berbicara.
Perempuan memiliki kebutuhan berbicara sebanyak 20000 kata per hari. Sementara itu, laki-laki Cuma butuh mengeluarkan 7000 kata per hari. Ibu, seorang ibu rumah tangga yang sudah hidup terpisah dari ketiga anaknya, merasa kesepian.
Tidak memiliki teman untuk berbicara.
Rumah sepi.
Waktu terlalu luang setiap harinya.
Saya bandingkan keseharian Ibu dengan saya.
Lima jam bengong. Sungguh itu waktu yang sangat berharga dan amat sangat didambakan oleh saya dan juga teman-teman saya sesama ibu rumah tangga.

Aduh, pengen si kakak cepet masuk sekolah. Lama amat sih libur sekolahnyanya. Panas kepala gue seharian sama anak di rumah. Berantem terus.

Begitu sebuah pesan dari seorang teman di grup pesan sahabat saya.

Sebuah pesan lain bernada serupa menghampiri.

Me time mana me time. Boro-boro bisa bengong ngopi-ngopi baca buku. Ke kamar mandi aja digedor-gedor anak bayi.

Ibu muda dengan anak-anak balita seperti saya sangat mengharapkan waktu bengong yang Ibu saya miliki.Banyak sekali hal yang ingin kami lakukan dalam waktu bengong itu. Berjalan-jalan, membaca buku, atau bahkan cuma menikmati semangkuk mie instan tanpa gangguan rengekan atau tangisan anak.
Ibu saya megeluh terlalu sepi.
Kami, ibu muda, juga mengeluh terlalu ramai.
Ibu saya mengeluh tidak ada teman bicara.
Kami, ibu muda, juga mengeluh terlalu banyak kata-kata di rumah.
Ibu saya mengeluh terlalu banyak bengong.
Kami, ibu muda, juga mengeluh terlalu sibuk.

Ibu muda seperti saya tampaknya perlu hati-hati. Sekarang misuh-misuh terlalu ramai dan sibuk. Di masa tua, mungkin kita misuh-misuh juga terlalu sepi dan bengong.
Kesibukan dan keramaian ini hanya sebentar.

Sementara.

Sunday, January 28, 2018

TAK PERLU KHAWATIR JIKA ANAK TIDAK BERSEKOLAH DI TEMPAT MAHAL


Para ibu yang anaknya sudah mencapai usia tiga tahun, biasanya mulai ketar-ketir pada persoalan sekolah anak. Banyak pertanyaan mulai dipikirkan.

Kapan saya harus memasukkan anak ke sekolah?

Lebih baik masuk sekolah play group terlebih dahulu atau langsung ke taman kanak-kanak, ya?

Sekolah seperti apa yang cocok untuk anak saya?

Full day school atau sekolah biasa?

Dan persoalan yang juga penting adalah...

Berapa sih, biaya sekolah zaman now?

Saya menyimpan brosur sebuah sekolah dasar swasta islam terpadu di Bandung. Sekolah tersebut adalah jenis full day school. Adapun kurikulum yang digunakan di sekolah tersebut adalah gabungan antara kurikulum nasional dan kurikulum khas (agama) yang disusun sendiri. Dalam brosur tersebut tertulis sebagai berikut:

a.       Biaya pendaftaran Rp. 500.000,
      Termasuk formulir dan pendaftaran
b.      Biaya masuk Rp. 20.000.000,-
Termasuk uang pangkal, buku paket pelajaran selama 1 tahun, pakaian sekolah, kegiatan siswa selama 1 tahun, kegiatan ekskul dan SPP bulan Juli 2018
c.       SPP Rp. 1.350.000 / bulan

Kali lain seorang teman menunjukkan dua brosur lain dari sekolah-sekolah yang berbeda. Hasilnya, biaya masuk sekolah dasar swasta di kota Bandung dengan level yang mirip berada di kisaran 20 juta atau lebih.

Jadi, berapakah biaya yang harus dipersiapkan?

Menurut hitungan para perencana keuangan, biaya pendidikan di Indonesia rata-rata meningkat sekitar 15%-20% per tahun. Angka ini lebih dari dua kali lipat rata-rata kenaikan inflasi.

Jadi, kenaikan biaya sekolah anak lebih tinggi daripada kenaikan inflasi per tahun.

Anak saya sekarang berusia 4 tahun. Masih ada waktu dua tahun lagi untuk masuk sekolah dasar. Jika biaya masuk sekolah dasar tahun 20 juta, maka biaya masuk sekolah dasar 2020 adalah sekitar 28 juta rupiah saja. Tidak lupa, biaya bulanan juga ikut naik. Tung hitung hitung, diperkirakan saya perlu mengeluarkan dana satu juta delapan ratus sembilan puluh ribu rupiah per bulannya.

Kalau biaya sekolah segitu, pendapatan keluarga kami harus berapa dong?

Menurut sebuah konsultasi finansial Finansia Consulting, biaya bulanan sekolah maksimal seperlima dari pendapatan minimal orang tua. Jika spp bulanan Rp. 1.890.000,-, maka minimal pendapatan keluarga haruslah sebesar Rp. 9.450.000,-.

Ehm, itu baru biaya sekolah untuk satu anak loh, ya.

Tambah anak, bertambah besar pula alokasi dana pendidikan yang dibutuhkan.

Level yang mirip seperti apa?

Berdasarkan hasil pengamatan pribadi, ada berbagai jenis sekolah swasta di Bandung. Ada sekolah yang menggunakan kurikulum nasional saja layaknya sekolah dasar negeri. Selain itu, ada sekolah yang menggunakan gabungan kurikulum nasional dan kurikulum khas. Bermacam-macam value yang ditawarkan dalam kurikulum khas yang dikembangkan. Misalnya, ada sekolah yang memasukkan value agama, dwibahasa, atau mengadopsi metode tertentu seperti sekolah montessori, sekolah alam, dan sebagainya. Tambahan value itulah yang menjadi nilai tambah sejumlah sekolah.

Bertambah value berarti bertambah pula money value yang diperlukan.

Jadi, pendidikan yang baik cuma untuk kalangan berduit dong?

Bagaimana jika kita tidak mampu memasukkan anak ke sekolah-sekolah mahal itu?

Apakah anak kita tidak akan mendapatkan pendidikan yang terbaik?

Apa yang harus kita lakukan agar anak tetap memperoleh pendidikan terbaik meski tidak masuk ke sekolah mahal?

Apa yang harus kita lakukan, kan tidak semua orang Indonesia mampu mengenyam pendidikan mahal?

Suami saya pernah melakukan penelitian terhadap sekolah-sekolah dasar swasta yang mahal. Ia dan timnya melakukan wawancara terhadap sejumlah orang tua siswa. Asumsinya, sekolah-sekolah yang mahal tersebut memiliki program yang luar biasa, dan tidak dimiliki oleh sekolah lainnya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa program-program antara sekolah mahal dan sekolah biasa tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Meski sekolah mahal menambahkan slogan value tertentu, namun pada prakteknya, program dan kegiatan yang dilaksanakan relatif sama dengan sekolah biasa.

Satu temuan penting dari penelitian itu adalah para orang tua memiliki keterlibatan yang besar pada kegiatan belajar anak. Mereka sadar bahwa mereka sudah mengeluarkan uang dengan nominal yang besar. Dengan alasan itu, mereka berusaha untuk mendapatkan hasil  yang besar pula. Akibatnya, mereka menunjukkan perilaku yang mendorong anak supaya meraih prestasi belajar yang baik. Mereka proaktif menanyakan perkembangan belajar, mengamati hasil belajar siswa, dan turut serta membantu proses belajar di rumah.

Pasi Sahlberg, penulis buku “Finnish Lessons 2.0: What can the world learn from educattional change in Finland”, menyebutkan ada lima hal yang menentukan prestasi belajar anak. Salah satu yang terpenting adalah apa yang dilakukan anak-anak ketika tidak di sekolah.

Jadi, kualitas sekolah bukanlah satu-satunya penentu keberhasilan belajar siswa. Orang tua, kegiatan anak saat di rumah dan selepas jam sekolah juga menjadi penentu penting terhadap prestasi belajar siswa.

Memilih sekolah bagus dan mahal merupakan pilihan yang sangat baik. Jika kita mampu, maka kita perlu memberikan investasi pendidikan terbaik untuk anak. Satu hal yang bisa dilakukan oleh orang tua yang memilih untuk memasukkan anak ke sekolah mahal adalah berkesinambungan. Tidak karena anak sudah dididik oleh guru di sekolah, maka orang tua bisa berlepas tangan dengan pendidikan di rumah. Sebaliknya, orang tua perlu menjalin komunikasi, kerja sama dan terlibat dalam pendidikan selepas jam sekolah.

Sebaliknya, tidak memasukkan anak ke sekolah mahal pun bukan sesuatu yang salah. Anak tetap memiliki potensi meraih prestasi belajar yang luar biasa ‘meskipun’ hanya bersekolah di lembaga pendidikan yang biasa. Orang tua perlu menunjukkan usaha yang maksimal untuk membantu kegiatan belajar anak. Ayah atau ibu bisa membantu kegiatan belajar anak, memberikan tambahan, mengulang pelajaran, membangun kerja sama dan komunikasi dan guru untuk mendapatkan hasil belajar yang optimal.

Jadi, tidak perlu khawatir jika anak anda tidak bersekolah di tempat yang mahal, ya!




Sumber:

Walker, Timothy. 2017. Teach Like Finland. Jakarta: Gramedia.