Sunday, February 18, 2018

BOLEH MEMBANDINGKAN ANAK DENGAN SYARAT INI

BOLEH MEMBANDINGKAN ANAK DENGAN SYARAT INI


Jangan membandingkan anak!
Nggak usah ngebanding-bandingin, deh!

Begitu pesan yang sering saya sering dengar dari para ibu dan orang tua. Mereka menghindari pembicaraan untuk membandingkan anak yang satu dengan lainnya. Atau, dalam satu meme diperlihatkan orang tua yang menghindar ketika ditanya “Anaknya sudah bisa apa?” Dengan alasan tidak mau membandingkan anak, orang tua yang ditanya pun menolak menjawab pertanyaan itu.

Tidak sedikit artikel yang memuat soal bahaya membandingkan anak yang satu dengan yang lainnya. Dikatakan bahwa membandingkan anak dapat membuat anak menjadi minder, pendendam, tidak mudah bergaul, dan sederet karakter buruk lainnya.

Dalam artikel lain disebutkan bahwa membandingkan anak dengan saudara atau temannya adalah salah satu bentuk bullying. Perbandingan bisa memicu anak untuk lebih bersemangat mengejar prestasi, namun bisa perbandingan dilakukan secara keliru, anak akan merasa tidak dihargai. Itu tentu merupakan bullying karena anak merasa tidak nyaman dngan diri sendiri.

Mendengar kata “membandingkan” saja sudah menjadi seperti momok yang menakutkan bagi orang tua. Seperti haram untuk diucapkan.

Sebenarnya apakah membandingkan?

Menurut kamu besar Bahasa Indonesia, membandingkan adalah sebuah aktivitas untuk mengetahui persamaan atau selisih dari dua benda, hal, dan lainnya.

Sadarkah kita, bahwa membandingkan adalah suatu aktivias yang tak bisa kita hindari?

Berat badan anak saya sekian. Eh, kalo berat badan standar bayi usia segini berapa, ya? Begitu pula dengan tinggi badan. Mudahnya, para ibu mencari tahu berat badan dan tinggi badan standar bayi, membacanya, mencari tahu ukuran standar sesuai usia bayinya, kemudian melihat lagi berat badan dan tinggi badan si bayi.

Lebih besar atau lebih kecil?
Lebih tinggi atau lebih rendah?

Membandingkan.

Itu soal fisik.

Perbandingan juga bisa kita lihat dari kemampuan lainnya.

Siapa yang lebih cepat bisa berjalan?
Siapa yang loncatnya lebih tinggi?
Siapa yang lebih cepat berbicara?

Dan juga dari anak lainnya.
Kakak makan lebih banyak.
Adik lebih suka mewarnai.
Kakak lebih cepat memahami instruksi.
Adik lebih cepat bergaul dengan teman baru.

Atau membandingkan keadaan si anak hari ini dan sebelumnya.
Kakak lebih cepat menguasai bahasa Inggris daripada Bahasa Arab. Hari Kakak lebih banyak menangis daripada bulan sebelumnya.
Apakah dengan melakukan perbandingan membuat anak minder? Apakah dengan mengetahui berat badan si anak lebih rendah daripada bayi lain seusianya lantas membuat anak minder dan tidak brgaul?

Bisa iya, bisa tidak.
Anak minder bisa merupakan akibat dari sebuah proses yang panjang. Ilustrasinya begini.
Kita katakan “Dek, kamu lebih pendek daripada kakak.”
Kemungkinan si adik tidak memberikan reaksi negatif, mungkin biasa saja. Tapi berbeda jika kita mengatakan, “Dek, kamu lebih pendek daripada kakak. Pendek itu jelek. Jadi, kamu lebih jelek daripada kakak.”
Bisa dilihat bedanya, kan?
Mengemukakan hasil ukuran yang objektif (terukur) tidak akan membuat anak menjadi buruk. Tambahan penilaian yang subjektif lah yang membuatnya buruk, terdengar buruk.   suatu hasi ukuran dengan keburukanlah yang menjadikannya buruk. Dan jika dibiarkan berulang-ulang berpotensi menimbulkan rasa minder pada diri anak.

Ada satu catatan yang dapat dibuat untuk membuat perbandingan pada anak, yakni tetap objektif. Beberapa hal yang bisa dilakukan:

1.    1  Bandingkan sesuatu yang memang bisa diukur. Lebih cepat, lebih lambat, lebih tinggi, lebih rendah. Ada metode yang jelas dalam pengukuran. Sebaliknya, hindari pengukuran dalam hal-hal yang sifatnya relatif, seperti lebih cantik, tampan, jelek, keren, dan sebagainya.

2.     2 Gunakan bahasa yang santun ketika mengevaluasi anak. Tidak karena dia anak kita, jadi seenaknya berbicara. Gunakan bahasa yang santun dan objektif, serta memotivasi. Contohnya: “Prestasi belajar adik menurun semester ini. Mengapa bisa demikian? Ada yang bisa ibu bantu? Kalau ada kesulitan dalam pelajaran, kamu bisa coba belajar sama Kakak deh” hindari “Jelek banget Dek, nilai kamu semester ini. Kok bisa gitu, sih? Lihat Kakakmu tuh, pinter banget.”

3.   3   Stop nyinyir. Tidak hanya dalam hal membandingkan anak, nyinyir seharusnya menghilang dalam berbagai aspek kehidupan. Nyinyir tidak hanya perlu dihindari pada saat membandingkan anak dengan yang lebih baik, tapi begitu pun sebaliknya. Contoh yang buruk: “Kamu lebih cepat membaca ya, Dek, daripada teman kamu si X. Kamu keren Dek, si X bodoh ya, membaca saja dia sulit.” Sebaliknya, ajakan anak tetap rendah hati dan bersedia membantu. “Alhamdulillah adik sudah bisa membaca, ya. Nanti boleh membantu teman-teman yang belum bisa membaca. Anak yang hebat mau mengajarkan teman-temannya.”


Sunday, February 11, 2018

MISUH-MISUHNYA IBU

MISUH-MISUHNYA IBU

Bapak pulang dari masjid usai melaksanakan sholat dzuhur berjamaah. Menyapa cucunya sebentar, lantas langsung masuk kamar.
“Sreeeet,” tirai kamar ditutup rapat.
“Bapak kemana, Bu?” tanyaku pada Ibu yang sedang main dengan anak keduaku.
“Habis dzuhur itu, jadwal Bapak tidur. Tinggal Ibu bengong sendirian. Bosen. Sepi,” keluh Ibu.

Selama di rumah orang tua, saya mengamati keseharian Ibu dan Bapak. Bapak sudah lama pensiun dari pekerjaannya menjadi guru, sedangkan Ibu adalah Ibu Rumah Tangga. Di luar itu, keduanya sesekali menjadi penceramah atau mengisi acara pengajian di Majelis Taklim. Kegiatan pengajian hanya beberapa kali seminggu.

Ibu bangun pukul 3.30 dini hari. Ia menunaikan sholat tahajud dan tilawah hingga adzan shubuh berkumandang. Kemudian pergi ke masjid untuk sholat shubuh berjamaah. Sepulang dari masjid, Ibu membuat sarapan untuk Bapak, dan menikmatinya sambil menonton tayangan ceramah di televisi. Setelah itu, Ibu membereskan rumah, memasak, mandi, sholat dhuha. Beristirahat sebentar, kemudian makan siang bersama pukul 10.30. Mereka menonton televisi sambil menunggu adzan dzuhur. Setelah adzan dzuhur, Bapak masuk kamar, Ibu ditinggal sendirian.
Ibu dan Bapak baru “bertemu” lagi di waktu makan selanjutnya sekitar pukul 5 sore. Berarti, ada jeda waktu sekitar 5 jam di siang hari untuk Ibu bengong.
“Malam juga bosen. Nonton televisi bosen.”
Saya pun menyarankan Ibu untuk membaca buku.
“Ya sudah. Novel yang kamu kasih itu Ibu tamatkan dua hari.”
Saya pun menyarankan hal lain, seperti bertilawah atau mendengarkan ceramah dari youtube. Ibu bilang itu sudah dilakukannya. Tapi Ibu mengeluh tidak ada teman untuk berbicara.
Perempuan memiliki kebutuhan berbicara sebanyak 20000 kata per hari. Sementara itu, laki-laki Cuma butuh mengeluarkan 7000 kata per hari. Ibu, seorang ibu rumah tangga yang sudah hidup terpisah dari ketiga anaknya, merasa kesepian.
Tidak memiliki teman untuk berbicara.
Rumah sepi.
Waktu terlalu luang setiap harinya.
Saya bandingkan keseharian Ibu dengan saya.
Lima jam bengong. Sungguh itu waktu yang sangat berharga dan amat sangat didambakan oleh saya dan juga teman-teman saya sesama ibu rumah tangga.

Aduh, pengen si kakak cepet masuk sekolah. Lama amat sih libur sekolahnyanya. Panas kepala gue seharian sama anak di rumah. Berantem terus.

Begitu sebuah pesan dari seorang teman di grup pesan sahabat saya.

Sebuah pesan lain bernada serupa menghampiri.

Me time mana me time. Boro-boro bisa bengong ngopi-ngopi baca buku. Ke kamar mandi aja digedor-gedor anak bayi.

Ibu muda dengan anak-anak balita seperti saya sangat mengharapkan waktu bengong yang Ibu saya miliki.Banyak sekali hal yang ingin kami lakukan dalam waktu bengong itu. Berjalan-jalan, membaca buku, atau bahkan cuma menikmati semangkuk mie instan tanpa gangguan rengekan atau tangisan anak.
Ibu saya megeluh terlalu sepi.
Kami, ibu muda, juga mengeluh terlalu ramai.
Ibu saya mengeluh tidak ada teman bicara.
Kami, ibu muda, juga mengeluh terlalu banyak kata-kata di rumah.
Ibu saya mengeluh terlalu banyak bengong.
Kami, ibu muda, juga mengeluh terlalu sibuk.

Ibu muda seperti saya tampaknya perlu hati-hati. Sekarang misuh-misuh terlalu ramai dan sibuk. Di masa tua, mungkin kita misuh-misuh juga terlalu sepi dan bengong.
Kesibukan dan keramaian ini hanya sebentar.

Sementara.