Wednesday, August 26, 2015

Stay At Home Mom VS Working Mom

 *Stay At Home Mom = SAHM
*Working Mom= WM


Dulu saya berpikir, bahwa idealnya, setelah memiliki anak, seorang perempuan hendaknya menjadi ibu rumah tangga saja, tidak bekerja. Ia mengurus anaknya sendiri, memastikan pangan, sandang, kesehatan, permainan, pergaulan, dan seluruh kehidupan yang berkaitan deng an si anak. Darimana saya mendapatkan pemikiran seperti itu? Mungkin melihat ibu saya menjadi ibu rumah tangga, bisa mengurus anaknya dengan baik, dan melihat sekeliling saya, ibu-ibu bekerja tampak seperti kesulitan untuk mencari pengasuh atau menitipkan anaknya dimana. Dan lagi saya melihat, orang yang dititipi anak tidak bisa menjadi pengasuh yang ideal. Nenek-nenek yang dititipi terlalu memanjakan anaknya, sementara itu, mbak-mbak yang dititipi anaknya terlalu permisif. Jadilah saya berkesimpulan, secara idela, saya akan menjadi ibu rumah tangga kelak.

Setelah dewasa, terutama ketika kuliah, pikiran saya menjadi semakin luas. Jika memang semua ibu idealnya menjadi ibu rumah tangga, berarti kita tidak akan menemukan berbagai profesi yang berjenis kelamin wanita dong, ya? Misalkan polisi wanita yang memang dibutuhkan? Atau saya akan kesulitan ketika mencari dokter kandungan perempuan, karena tidak nyaman dengan dokter kandungan laki-laki? Mungkin kita juga tidak akan menemukan sosok “ibu guru”, karena semua orang yang berpendidikan guru, memilih menjadi ibu rumah tangga? Lalu kita tidak bisa menemukan seorang ibu yang menjadi psikolog anak, profesi-profesi lainnya yang “sifatnya keibuan” seperti perawat? Bidan? Dokter anak? Guru? Sekretaris? Jika memang seorang perempuan juga dibutuhkan secara profesi, lantas bagaimana kondisi yang ideal ya, apakah ia harus menjadi ibu rumah tangga sja, atau jika harus bekerja, bagaimana seharusnya ia menjadi ibu bekerja?

Kemudian saya mendapati ibu dari teman-teman yang bekerja, tetap menjadi anak yang bahagia, pendidikannya baik. Ketika kecil, rata2 mereka memiliki asisten rumah tangga, dan atau ditemani pula oleh neneknya. Ada pula yang menitipkan pada saudara selagi ibunya bekerja. Atau sekarang muncul lembaga-lembaga penitipan anak, bisa dimanfaatkan di sana sambil anak bermain dan belajar, dan ibu bekerja.

Apakah saya kemudian ingin mengubah posisi dari SAHM menjadi WAHM? J Tidak juga sih. Mungkin saya harus menunggu anak cukup besar untuk ditinggal untuk bisa bekerja. Ada semacam kerinduan, “duh kapan ya gue bisa..sekolah lagi/bekerja? Nunggu anak sampai umur berapa nih, kok nggak gede-gede ya?” hahaha. Jika menunggu anak untuk disapih, terus lanjut mikir, apa udah bisa bekerja atau belum nih.

Tapi jika melihat kondisi ibu-ibu rumah tangga yang anaknya sudah besar kisaran SMA, kuliah, atau bekerja, kita bisa mendapati banyak ibu rumah tangga yang kurang produktif. Mungkin jadinya ia jadi kebanyakan nonton tv aja, di sisa waktu mengurus rumah-dapur. Banyak sekali waktu luang. Berarti di sini ada kekosongan waktu yang memang bisa dimanfaatkan untuk bekerja. Benar, tidak? Seperti mama saya yang kadang suka kesal di rumah, jika kebetulan tidak ada undangan pengajian/ceramah.

Mungkin menjadi SAHM ini hanya sementara, selama anak masih kecil, butuh perhatian, mungkin sampai anak lulus SD? Tapi ada juga WM yang beranggapan jika anak sudah remaja, anak butuh perhatian lebih, dan ia akan berhenti bekerja untuk mengurus anak. Hemm..beda sudut pandang, ya.
Saya sendiri belum memutuskan, akan sampai kapan menjadi SAHM, karena rindu sekali ingin menjalankan profesi, ingin sekolah lagi, ingin bekerja. Apakah setelah anak pertama bisa cukup ditinggal atau dititipkan? Apakah mau produksi anak dulu sesuai keinginan (hahaha), lalu baru bekerja? Entah ya, ini masih menjadi bahan diskusi panja ng bersama sang suami J


Mana yang lebih baik atau buruk, SAHM atau WM?
SAHM atau WM itu sama-sama bernilai nol. Untuk menjadi SAHM atau WM yang positif (baik) atau negatif (buruk), ya tergantung dia SAHM atau WM yang seperti apa. Selain itu, bisa juga dilihat kondisi anak dan keluarganya bagaimana.
Menurut pandangan saya, saya akan menjadi SAHM yang buruk jika:
-         -  Di rumah kerjanya nonton tv, nonton gossippppp
-         - Anak juga diajak nonton tv aja
-         -  Masak seadanya atau jajan junkfood aja
-          - Rumah bersih-bersih seadanya
-          - Banyak leha-leha main handphone

Atau jika saya membayangkan diri saya menjadi WM. WM yang buruk adalah yang:
-    - Fokus bekerja dan tidak membuat rencana di pagi hari, memastikan anak makan apa, main apa, bagaimana
-          - Pergi dinas seenaknya
-          - Titip-titip anak sebanyak-banyaknya seenak-enaknya
-          - Pulang langsung istirahat bobo, tanpa take times with kiddos and husband

Kalau SAHM atau WM yang baik gimana dong? Sebenarnya, saya percaya, secara fitrah, seorang ibu selalu menjadikan rumah dan anak sebagai prioritasnya. Mungkin WM atau SAHM yang seperti saya jelaskan di atas lagi khilaf kali ya :P Yang ada di dalam pikiran seorang ibu pastilah anak makan apa hari ini, main kemana ya biar dia senang, beli buku apa ya, tidurnya cukup atau nggak, rumah harus beres, suami harus sehat, kebutuhan rumah tangga apa yang sudah habis dan urgent dibeli, and so on and so on.

Mungkin ini alasan sebagian ibu memilih menjadi SAHM :)
gambar diambil dari sini

Perbedaannya, seorang SAHM mungkin memiliki waktu yang lebih fleksibel untuk langsung mengerjakan apa-apa yang menjadi kebutuhan rumah dan anaknya, sementara WM perlu mengatur siapa yang akan membantu dirinya untuk menunaikan tugas rumah tangga dan pengasuhan anak sementara waktu. WM bisa meng-hire ART, menitipkan anak pada nenek/kakek si anak atau pada lembaga penitipan anak terpercaya. Jika memang semua sudah terkendali, semua aman kok. Tidak ada yang salah dengan kondisi “ibu bekerja”, tidak ada di rumah, tidak menemani anak sepanjang hari. Semua soal pilihan. Jika memang semua mendukung dan memutuskan untuk menjadi WM, it’s OK. Sebagian WM mungkin memutuskan untuk resign untuk menjadi SAHM. Itu pun oke J Masing-masing pilihan, baik menjadi SAHM ataupun WM sama memiliki keuntungan dan kerugian masing-masing. Pilihan ibu anu mungkin tidak sama untungnya dengan ibu yang lain. Misal, seorang ibu yang single parent tentu lebih memilih bekerja untuk mendapatkan penghasilan, ibu lain yang memiliki anak berkebutuhan khusus memilih menjadi SAHM untuk lebih optimal menemani tumbuh kembang anak.


WAHM is a new SAHM?
Sebuah artikel mengatakan bahwa working at home mom is a new stay at home mom. Saya setuju, WAHM itu adalah seperti sebuah jalan tengah yang damai antara working mom dan stay at home mom. Sang ibu bekerja, namun tetap berada di rumah.

Bekerja bisa dimulai dari mana saja. Sebuah artikel mengatakan membagi beberapa jenis ibu: green mom, artsy mom, churchy mom, atau high tech mom. Kita bisa mulai darimana saja yang kita sukai. Yang ke depannya bisa jadi menghasilkan penghasilan.

Kalau bingung-bingung mau jualan apa. Sudah lupakan apa yang bisa dijual. Menurut saya, lebih baik, apa yang kamu sukai. Suka baca, ya baca dulu; nulis, ya tulis dulu; ngobrol ya ngobrol dulu; masak ya masak dulu; gambar ya gambar dulu. Atau jika memang sudah memiliki profesi yang jelas, ya baiknya dilanjutkan saja J

Selain dari apa yang memang disukai, sebuah pekerjaan bisa jadi datang dari upaya kita mempelajari sesuatu yang baru. Jadi ibu, tentu tidak membebaskan kita dari kebutuhan untuk belajar. Kita perlu untuk mempelajari banyak hal baru, mencari pengetahun dari berbagai sumber, menambah keahlian yang semula tidak kita miliki, biar kita menjadi ibu cerdas J

Betul bahwa menjadi WAHM bukan tanpa drama. Kita mungkin memerlukan banyak penyesuaian, seperti mengatur waktu antara bekerja dan mengurus rumah, memberi anak pengertian ketika kita bekerja, dan lain sebagainya. Saya pribadi merasa WAHM is an ideal mom. Ingin banget jadi WAHM, tapi masih belum kesampaian karena anak masih under 2 yo, masih nenen, masih belum bisa mengatur waktu. Mungkin kalau anak sudah agak besar bisa ditinggal dan anteng sendiri, bisa mulai bekerja. Sekarang waktunya saya belajar duluuuu aja :D

Mengapa WAHM adalah sosok ibu ideal? Saya setuju dengan pendapat mommy hebat-envyable yang satu ini:

Saya ingin sukses, terutama menjadi istri dan ibu, tapi juga ingin bermanfaat untuk orang lain :)

Tuesday, August 11, 2015

DRAMA MENYUSUI

Seperti sudah diceritakan sebelumnya di sini, kegiatan menyusui menjadi salah satu penyebab masa-masa awal menjadi ibu membuat saya kesulitan. Waktu hamil, saya sudah sering membaca artikel maupun buku tentang menyusui, dan waktu itu tekad saya sudah bulat, ingin memberikan ASI eksklusif untuk bayi selama 6 bulan, dilanjutkan dengan pemberian ASI hingga anak usia dua tahun. Saya cukup percaya diri bahwa saya bisa melakukan hal tersebut. Analisis saya, secara fisiologis, saya akan mampu memberikan ASI yang cukup. Mengapa? Ibu saya sanggup memberikan ASI yang cukup bagi anaknya selama 20-24 bulan. Jika kemampuan menyusui yang didukung dengan kondisi payudaranya diturunkan, berarti jika ibu saya mampu, begitu juga dengan saya, kan? Begitu pikiran saya waktu itu. Ilmu sudah dipelajari, motivasi sudah besar, tekad sudah kuat, makin mantaplah saya untuk melakukan kegiatan yang katanya menambah bounding ibu-anak ini. Ketika anak lahir, dan saya mulai menyusui, barulah saya tahu, bahwa menyusui itu TIDAKLAH MUDAH. Penuh drama! Proses menyusui tidaklah semudah membuka kancing bajunya. Atau jika sekarang banyak dijual baju menyusui tanpa kancing resleting, yang tinggal membuka lubang diantara dua lapisan kain saja, proses memberikan asi kepada bayi tidaklah semudah itu. Menyusui membutuhkan proses adaptasi yang besar dalam berbagai hal, seperti:

1.       Flat nipple
Dikarenakan payudara saya berjenis flat nipple, jadi waktu awal-awal menyusui, butuh perhatian ekstra supaya si bayi bisa latch on dengan benar. Payudara harus dipegang sedemikian rupa, ditahan, supaya si nipple benar-benar masuk ke mulut bayi, dan ASI benar-benar terhisap dengan baik.  Sebagai tambahan, mulut bayi newborn masih mungil sekali, sehingga masih perlu bantuan agar aerola masuk ke mulut bayi. (teknik latch on bisa googling, ya!) Bisa dikatakan, menahan payudara selama itu PEGAL BANGET! J

2.       Menyusui =  siap diinterupsi
Yaitu bersedia untuk menyetop kegiatan yang akan dilakukan ketika panggilan untuk nenen itu datang. Lagi enak tidur, “ngekkk” anaknya nangis, lagi masak “ngekk”, lagi main, jalan-jalan, semua kegiatan, dimana pun, kapan pun, siap-siap untuk diinterupsi. Kegiatan pun banyak skip-nya. “Bentar yah, nenenin dulu”, itu kalimat pemberitahuan favorit kepada teman saat chatting, makan bareng, hang out.
Oh, lantas bagaimana dengan ibu bekerja yang menggunakan asi perah (ASIP)? Rasanya sama saja, ya. Atau mungkin lebih berat? Si ibu perlu menyediakan waktu di tengah-tengah pekerjaannya. Teman pernah bercerita ia meeting sambil memerah, istirahat memerah lagi, bahkan sengaja bangun tengah malam untuk menambah tabungan asip anaknya.

Pernah juga ngalamin jadi mamahperah, waktu babyEu dirawat karena kadar bilirubin yang tinggi

3.       Mastisis meringis
Rasanya semua ibu menyusui pernah mengalami hal ini, ya. Rasanya nggak enak banget, deh. Payudara kita bengkak, memanas dan sakit luar biasa. Seperti disayat sembilu. Kabar ‘baiknya’, hal itu bisa berlangsung berhari-hari. Siap-siap meringis! :D
Baby Eu juga pernah nyicip sufor ini sekian puluh mililiter,
karena ASIP yang di atas itu tidak mencukupi sampai waktu malam
Tuntunan yang bagus untuk ngASI

Tapi meski demikian, menurut saya pribadi, pilihan memberikan ASI tetaplah pilihan yang lebih mudah daripada harus minum susu formula. Masalah nutrisi, kandungan asi, sudah semua busui tahu deh. Saya tidak akan membahas soal itu. Menurut saya, ngASI meski penuh drama, tapi lebih praktis, lebih mudah,  karena:

1.       Mengurangi gembolan bekal ketika bepergian
Ketika kita memiliki bayi, volume bagasi bisa meningkat tiga kali lipat. Banyak sekali yang barang-barang bayi yang harus dibawa: pakaian ganti yang jumlahnya lebih banyak dari pakaian ibunya, diapers, mainan, tissue basah dan kering, stroller, gendongan, selimut, dlsb.
Jika bayi kita mengonsumsi susu formula, siap-siap gembolan bertambah lagi menjadi empat kali lipat. Tambahan beban itu, karena kita harus membawa sejumlah botol dot (dan cadangannya), alat-alat pencuci dot, kaleng susu bubuk, sendok, dan termos.
Dengan demikian, ngASI berarti mengurangi seperempat beban gembolan dibanding menggunakan sufor. Seperempat itu kedengeran sedikit dan tidak terlalu signifikan? O-ow, pekerjaan tidak hanya bertambah pada membawa tambahan gembolan saja, tapi juga pada aktivitas membersihkan, membereskan alat-alat yang digunakan untuk bayi ngedot.

2.       Gak khawatir masalah bakteri
Botol dot harus selalu melalui proses sterilisasi sebelum digunakan, proses pencucian harus menggunakan sabun khusus. Belum lagi drama dotnya meleleh, gara-gara kepanasan waktu direbus (sterilisasi). Berbeda dengan payudara yang sudah steril dari sononya. No sterilizer, anti layu, anti rusak. :D

3.       Biaya susu formula yang jika dikalkulasikan untuk dua tahun minum susu formula bisa dipergunakan untuk jajan-jajan cantik ibu dan anak 

4.       Bagi ibu menyusui, cukup melakukan satu langkah untuk meredakan kehausan bayi sangat mudah, tinggal buka kancing baju, lep, bayi pun bisa minum. Sementara yang nyufor, harus melakukan sejumlah langkah. Dari mulai menyiapkan botol, susu, campur air panas, dan ini, dan itu.

Jadi, meski proses menyusui memang penuh drama di awal, tapi bagi saya pribadi, itu menjadi pilihan yang paling baik dan terutama praktis. Hehehe. Semoga saya bisa menyusui Eureka hingga dua tahun, hingga anak kedua, ketiga dan seterusnya. Aamiin. Jujur, sampai sekarang terkadang masih suka nggak sabar karena banyak diinterupsi, namun yang selalu saya ingat adalah bahwa drama ini cuma dua tahun, dan manfaatnya seumur hidup. Bersusah-susah sebentar, demi kesehatan anak, kekebalan tubuh yang baik, dan terutama bounding antara ibu-anak. Mantra saya yang selalu saya ucapkan jika sedang tidak sabar adalah “Kalem Mom, drama pasti berlalu”. Kecuali jika habis menyapih, langsung bersiap untuk menambah momongan, maka Si Momom harus bersiap estafet jadi sapi perah, deh. Hahaha.

Friday, August 7, 2015

ANAKKU MIRIP SIAPA, ?

Dari awal kehamilan, sudah banyak yang mewanti-wanti, “Mudah-mudahan anaknya nggak mirip bapaknya, ya”, begitu katanya. Hahaha. Kedengarannya jahat, ya. Tapi celetukan-celetukan itu biasanya berasal dari para sahabat yang mengenal kami berdua secara akrab. Kelakukan suami yang pecicilan, jahil, seringkali membuat mereka nyinyir dan kemudian berdoa yang tidak-tidak. :D
Berbeda dengan teman-teman saya yang memiliki ‘doa’ spesifik seperti itu, saya pribadi tidak memiliki ekspektasi apa-apa tentang wajah si bayi. Jika Mameh Ghina ingin anaknya seperti bayi-bayi keturunan Arab yang matanya belok, lucu, menggemaskan, saya tidak memiliki harapan apa-apa mengenai wajah si bayi. Blank! Saya tidak memiliki perkiraan bayinya akan mirip siapa, dan juga gak ngidam bayinya ingin mirip si ini, si anu.
Pada saat itu, feeling saya, anaknya akan berjenis kelamin laki-laki. Maka dari awal kehamilan, saya dan suami menyiapkan nama laki-laki. Ketika mengajak dede bayi untuk berbicara, kami pun sudah memiliki panggilan kesayangan untuk anak laki-laki. Hehehe. Ketika usia kehamilan kurang lebih lima bulan, hasil USG memperlihatkan bahwa bayinya ternyata berjenis kelamin perempuan. Setelah itu, barulah kami sibuk menyiapkan nama untuk anak perempuan.
Ketika pada akhirnya Eureka lahir, jeng...jeng…jeng…ternyata ia mirip sekali dengan bapaknya! Ahhh, doa para sahabat “semoga anak yang lahir nggak mirip bapaknya”, rupanya tidak terkabul. Hihihi.

A new born Eureka
 Wajah Eureka plek bapaknya banget. Yang paling menonjol adalah wajahnya berbentuk lonjong, berbeda dengan bentuk wajah saya yang bulat. Matanya mengecil di bagian sudut luar, dahinya lebar menonjol, hidungnya seperti buah cherry, bibirnya bersudut tidak seperti bibir saya yang bulat. Mungkin karena mirip bapaknya, jadilah wajah Eureka lebih terlihat seperti anak laki-laki di awal-awal kelahirannya.


Jika kami membawa Eureka ke tempat umum atau bertemu saudara, sudah biasa orang –orang akan menebak, “Wah, bayinya cakep/tampan”, atau “Wah, si jagoan”. Adegan berikutnya adalah kami akan meralat tebakan mereka “anaknya perempuan, Om/Tante/Kakek/Nenek”.
Bagaimana dengan sifatnya? Apakah juga mirip bapaknya? Sejauh 15 bulan ini, bapaknya bilang, sifatnya justru mirip saya. Memang ada beberapa sifat yang sama. Misalnya, jika pertama kali bertemu dengan orang asing, seringkali merasa tidak aman. Eureka bukan tipe bayi yang mudah digendong orang asing. Apalagi jika yang Eureka temui adalah laki-laki dewasa, pasti ia langsung menangis. Namun jika yang ia temui adalah sesama anak kecil, ia akan senang sekali dan mau bermain bersama pada saat itu juga.

Si kembar
Bagi saya, tidak jadi soal wajah Eureka mirip saya atau bapaknya. Memang sih, kadang secara bercanda saya suka bilang “kok saya yang hamil, saya yang susah-susah melahirkan, tapi saya gak dikasih jatah sedikitpun andilnya ke anak secara fisik”. Padahal memang tidak ada hubungannya, ya. Hahaha. Harapan saya, semoga Eureka bisa menjadi dirinya sendiri. Karakter dan atribut yang telah dimilikinya secara unik, dapat berkembang dengan optimal. Kalaupun ada sifat-sifat yang terwariskan dari ibu dan ayahnya, mudah-mudahan itu hanya kebaikan-kebaikannya saja, which is mungkin nggak seberapa, ya.

Sunday, August 2, 2015

BABY BLUES: SAKITNYA TUH DI SINI

“HOOAAAAA..OOAAAA, “ nyaring sekali tangis pertama Eureka ketika lahir. Seperti menular, saya pun jadi ikut menangis. Entah apa yang menyebabkan saya menangis. Yang terasa adalah dada saya penuh, sesak, emosional. Saya pun menangis sesenggukan. Kedua dokter anestesi yang berada di belakang kepala saya sampai harus menenangkan saya. Apakah itu tangis bahagia karena telah melahirkan? Rasanya bukan. Yang saya rasakan setelah mendengar tangis Eureka adalah…aneh, asing, bingung.
Setelah Eureka berhasil dikeluarkan dari perut, saya pikir sebentar lagi saya akan segera keluar dari ruang operasi. Ternyata saya keliru. Proses menyakitkan terjadi setelah itu. Saya rasakan perut saya seperti dikocok-kocok. Mual rasanya. Saya tanya pada dokter anestesi yang berjaga, “Perut saya lagi diapain, dok?”, dokter menjawab, “Perut Ibu sedang dibersihkan. Sebentar kok, nggak lama”, dan ternyata sebentar yang dimaksud adalah setengah jam. Menahan rasa mual dan beberapa kali mau muntah selama itu pastilah bukan hal yang menyenangkan. Rasanya sungguh menyiksa. Sampai akhirnya perut selesai dibersihkan, proses operasi tuntas, keljuar dari ruangan operasi, bukan lega yang terasa, melainkan sedih, sedih, sakit, sakit luar biasa.
***
Candid pict taken by Hubyy. Muka saya jutek banget ngelihatin si bayi

Pertama kali saya mendengar istilah baby blues adalah waktu semasa kuliah, saat ada seorang teman (@niajaniar) yang menanyakan hal itu pada dosen yang mengajar mata kuliah Psikologi Umum I. Yang waktu itu saya tangkap, pengertian baby blues syndrome adalah kondisi dimana seorang wanita merasa sedih dan tidak berdaya setelah melahirkan. “Kok bisa, ya?!,” demikian pikiran saya waktu itu. Bukankah seharusnya seorang perempuan berbahagia karena telah melahirkan, memiliki bayi, makhluk lucu, kecil dan menggemaskan?

Sewaktu akhirnya saya hamil, kadang bertanya-tanya, apakah nanti saya akan mengalami baby blues? Sebelumnya, nggak pernah sama sekali dengar cerita orang yang mengalami baby blues. Ups, ralat, pernah ding sekali saya dengar teman cerita ia mengalami baby blues, karena pada hari-hari pertama kelahiran bayinya, ASI-nya belum keluar.

Sewaktu setelah melahirkan, saya dilanda kesedihan, waktu yang terpikir waktu melihat Eureka bayi adalah “Kamu siapa? Tiba-tiba muncul di hadapanku, dan tahu-tahu aku harus mengurus kamu?”
Waktu itu sempat terpikir seorang teman yang pernah bercerita “Pokoknya setelah lihat bayinya, sakit melahirkan langsung terobati, rasanya luar biasa!”, dan saya bertanya-tanya pada diri sendiri, kok aku nggak gitu yah? Kok, hemm..rasanya aku nggak bahagia? Malah merasa sedih, dan yang paling dirasa sih sakit. Sakitnya tuh di sini. Di sini dalam artian:


1. Trauma Operasi 
Saya tidak menyiapkan diri untuk proses melahirkan dengan cara operasi sesar. Masa kehamilan dilalui dengan lancar, tanpa keluhan yang menyakitkan seperti muntah-muntah yang bisanya dialami bumil lain. Setiap cek kandungan rutin pun, dokter selalu memberikan laporan yang baik. Tapi ternyata, persalinan normal tidak memungkinkan, karena tidak ada pembukaan dan kontraksi hingga menjelang minggu ke-41 kehamilan, dan mengharuskan saya untuk menjalani operasi sesar. Ternyata, leher bayi terlilit ari-ari, sehingga kepala bayi tidak bisa masuk sempurna ke panggul. 
Menjalani proses operasi mungkin sudah cukup menyakitkan. Ditambah dengan kondisi tidak siap, menjadikan rasa sakitnya saya semakin besar.


2. Adaptasi 
Kehadiran manusia baru di tengah-tengah keluarga membutuhakn proses adaptasi yang sangat besar. Waktu itu saya cukup shocked  betapa kita tahu-tahu bertanggung jawab atas hidup-mati seseorang (baca: anak yang baru dilahirkan). Kita bertanggung jawab atas kebersihan tubuhnya, lapar-kenyangnya, sehat-tidaknya, dan segala hal yang merngharuskan kita berlelah-lelah mengurusi sang anak.


3. Menyusui 
Sebelum melahirkan, saya pikir menyusui itu mudah sekali, tinggal buka kancing baju, lekatkan payudara pada anak, selesai, deh. Ternyataaaa..proses pelekatan (latch on) dalam menyusui membutuhkan adaptasi. Mulut bayi yang sangat mungil harus kita posisikan sedemikian rupa supaya bisa melekat sempurna, dan bisa menyusu dengan baik. Sakit-sakit lecet pada puting payudara,  bengkak, tak bisa terhindarkan, dan harus ditahan. Namun demikian, alhamdulillaah, meski mengalami baby blues, dan stress awal menyusui tidak mengurangi tekad saya untuk memberi ASI eksklusif dan tidak mengurangi produksi Asi pada saat itu.



My Hubby is My Counselor
Suami dari awal sudah bisa mendeteksi sindrom baby blues yang saya alami. Mengapa? Katanya, ada beberapa indikasi: pertama, saya menangis sesenggukan ketika keluar dari operasi, bahkan ketika si bayi diperlihatkan pertama kali kepada saya, saya malah menangis dan menunjukkan wajah sedih. Ini berbeda sekali dengan dirinya yang merasa sangat jatuh cinta kepada si bayi ketika pertama kalinya melihat bayi. Kedua, istri terus-terusan berwajah jutek dan manyun sampai sore, esok hari, dan esok seterusnya.

Setelah seminggu lebih mengalami sindrom ini, pada akhirnya saya tiba pada waktunya mencurahkan isi hati saya mengenai apa yang saya rasakan selama ini, pada suami saya. Kembali, proses curhat ini pun berlangsung penuh deraian air mata. Saya jujur mengenai perasaan saya menjalani operasi, masa penyembuhan pasca operasi, terhadap si bayi, terhadap betapa sulit dan menyakitkannya menemukan posisi latch on dalam menyusui, terhadap betapa melelahkannya harus bangun setiap saat untuk menyusui.
Ada dua hal yang berhasil menyembuhkan sindrom yang saya alami: waktu dan dukungan keluarga. Suami melalukan banyak tugas seperti mencuci popok (saya tidak langsung menggunakan diapers pada saat itu), alas ompol, pakaian bayi, memandikan bayi jika mama saya sedang keluar rumah, mengganti popok, sampai membantu menyodorkan bayi jika menangis di malam hari untuk disusui. Perlahan setelah saya cukup pulih dari luka operasi, bisa cukup bergerak lebih baik, saya mulai mengambil alih pengurusan bayi. Saya belajar memandikan bayi. Awalnya masih berdua suami, lama-lama bisa sendiri. Memasang kain bedong, mengganti popok, dan lain sebagainya.
Semakin banyak menyentuh, melihat wajahnya, mendengar suaranya, perlahan tumbuh rasa kasih, sayang, gemas, pada bayi. Alhamdulillaah.. Perlahan saya semakin sadar akan tanggung jawab yang saya emban. Perlahan saya semakin ikhlas menjalani peran sebagai seorang ibu. Keberadaan anak yang awalanya saya anggap asing, kemudian bisa saya kasihi. Tugas mengurus anak yang awalnya dirasa berat, perlahan saya nikmati. Lelah yang semula saya rutuk, perlahan bisa saya syukuri: terima kasih Tuhan, telah memberikan hamba kesempatan yang besar untuk beramal sholeh, titipan rezeki, dan teman hidup yang manis.