MISUH-MISUHNYA
IBU
Bapak pulang dari masjid
usai melaksanakan sholat dzuhur berjamaah. Menyapa cucunya sebentar, lantas
langsung masuk kamar.
“Sreeeet,” tirai kamar
ditutup rapat.
“Bapak kemana, Bu?”
tanyaku pada Ibu yang sedang main dengan anak keduaku.
“Habis dzuhur itu, jadwal
Bapak tidur. Tinggal Ibu bengong sendirian. Bosen. Sepi,” keluh Ibu.
Selama di rumah orang
tua, saya mengamati keseharian Ibu dan Bapak. Bapak sudah lama pensiun dari
pekerjaannya menjadi guru, sedangkan Ibu adalah Ibu Rumah Tangga. Di luar itu,
keduanya sesekali menjadi penceramah atau mengisi acara pengajian di Majelis
Taklim. Kegiatan pengajian hanya beberapa kali seminggu.
Ibu bangun pukul 3.30
dini hari. Ia menunaikan sholat tahajud dan tilawah hingga adzan shubuh berkumandang.
Kemudian pergi ke masjid untuk sholat shubuh berjamaah. Sepulang dari masjid,
Ibu membuat sarapan untuk Bapak, dan menikmatinya sambil menonton tayangan
ceramah di televisi. Setelah itu, Ibu membereskan rumah, memasak, mandi, sholat
dhuha. Beristirahat sebentar, kemudian makan siang bersama pukul 10.30. Mereka
menonton televisi sambil menunggu adzan dzuhur. Setelah adzan dzuhur, Bapak
masuk kamar, Ibu ditinggal sendirian.
Ibu dan Bapak baru
“bertemu” lagi di waktu makan selanjutnya sekitar pukul 5 sore. Berarti, ada
jeda waktu sekitar 5 jam di siang hari untuk Ibu bengong.
“Malam juga bosen. Nonton
televisi bosen.”
Saya pun menyarankan Ibu
untuk membaca buku.
“Ya sudah. Novel yang
kamu kasih itu Ibu tamatkan dua hari.”
Saya pun menyarankan hal lain,
seperti bertilawah atau mendengarkan ceramah dari youtube. Ibu bilang itu sudah
dilakukannya. Tapi Ibu mengeluh tidak ada teman untuk berbicara.
Perempuan memiliki
kebutuhan berbicara sebanyak 20000 kata per hari. Sementara itu, laki-laki Cuma
butuh mengeluarkan 7000 kata per hari. Ibu, seorang ibu rumah tangga yang sudah
hidup terpisah dari ketiga anaknya, merasa kesepian.
Tidak memiliki teman
untuk berbicara.
Rumah sepi.
Waktu terlalu luang
setiap harinya.
Saya bandingkan
keseharian Ibu dengan saya.
Lima jam bengong. Sungguh
itu waktu yang sangat berharga dan amat sangat didambakan oleh saya dan juga
teman-teman saya sesama ibu rumah tangga.
Aduh,
pengen si kakak cepet masuk sekolah. Lama amat sih libur sekolahnyanya. Panas
kepala gue seharian sama anak di rumah. Berantem terus.
Begitu sebuah pesan dari
seorang teman di grup pesan sahabat saya.
Sebuah pesan lain bernada
serupa menghampiri.
Me
time mana me time. Boro-boro bisa bengong ngopi-ngopi baca buku. Ke kamar mandi
aja digedor-gedor anak bayi.
Ibu muda dengan anak-anak
balita seperti saya sangat mengharapkan waktu bengong yang Ibu saya
miliki.Banyak sekali hal yang ingin kami lakukan dalam waktu bengong itu.
Berjalan-jalan, membaca buku, atau bahkan cuma menikmati semangkuk mie instan
tanpa gangguan rengekan atau tangisan anak.
Ibu saya megeluh terlalu
sepi.
Kami, ibu muda, juga
mengeluh terlalu ramai.
Ibu saya mengeluh tidak
ada teman bicara.
Kami, ibu muda, juga
mengeluh terlalu banyak kata-kata di rumah.
Ibu saya mengeluh terlalu
banyak bengong.
Kami, ibu muda, juga
mengeluh terlalu sibuk.
Ibu muda seperti saya
tampaknya perlu hati-hati. Sekarang misuh-misuh terlalu ramai dan sibuk. Di
masa tua, mungkin kita misuh-misuh juga terlalu sepi dan bengong.
Kesibukan dan keramaian
ini hanya sebentar.
Sementara.
No comments:
Post a Comment