Sunday, February 11, 2018

MISUH-MISUHNYA IBU

MISUH-MISUHNYA IBU

Bapak pulang dari masjid usai melaksanakan sholat dzuhur berjamaah. Menyapa cucunya sebentar, lantas langsung masuk kamar.
“Sreeeet,” tirai kamar ditutup rapat.
“Bapak kemana, Bu?” tanyaku pada Ibu yang sedang main dengan anak keduaku.
“Habis dzuhur itu, jadwal Bapak tidur. Tinggal Ibu bengong sendirian. Bosen. Sepi,” keluh Ibu.

Selama di rumah orang tua, saya mengamati keseharian Ibu dan Bapak. Bapak sudah lama pensiun dari pekerjaannya menjadi guru, sedangkan Ibu adalah Ibu Rumah Tangga. Di luar itu, keduanya sesekali menjadi penceramah atau mengisi acara pengajian di Majelis Taklim. Kegiatan pengajian hanya beberapa kali seminggu.

Ibu bangun pukul 3.30 dini hari. Ia menunaikan sholat tahajud dan tilawah hingga adzan shubuh berkumandang. Kemudian pergi ke masjid untuk sholat shubuh berjamaah. Sepulang dari masjid, Ibu membuat sarapan untuk Bapak, dan menikmatinya sambil menonton tayangan ceramah di televisi. Setelah itu, Ibu membereskan rumah, memasak, mandi, sholat dhuha. Beristirahat sebentar, kemudian makan siang bersama pukul 10.30. Mereka menonton televisi sambil menunggu adzan dzuhur. Setelah adzan dzuhur, Bapak masuk kamar, Ibu ditinggal sendirian.
Ibu dan Bapak baru “bertemu” lagi di waktu makan selanjutnya sekitar pukul 5 sore. Berarti, ada jeda waktu sekitar 5 jam di siang hari untuk Ibu bengong.
“Malam juga bosen. Nonton televisi bosen.”
Saya pun menyarankan Ibu untuk membaca buku.
“Ya sudah. Novel yang kamu kasih itu Ibu tamatkan dua hari.”
Saya pun menyarankan hal lain, seperti bertilawah atau mendengarkan ceramah dari youtube. Ibu bilang itu sudah dilakukannya. Tapi Ibu mengeluh tidak ada teman untuk berbicara.
Perempuan memiliki kebutuhan berbicara sebanyak 20000 kata per hari. Sementara itu, laki-laki Cuma butuh mengeluarkan 7000 kata per hari. Ibu, seorang ibu rumah tangga yang sudah hidup terpisah dari ketiga anaknya, merasa kesepian.
Tidak memiliki teman untuk berbicara.
Rumah sepi.
Waktu terlalu luang setiap harinya.
Saya bandingkan keseharian Ibu dengan saya.
Lima jam bengong. Sungguh itu waktu yang sangat berharga dan amat sangat didambakan oleh saya dan juga teman-teman saya sesama ibu rumah tangga.

Aduh, pengen si kakak cepet masuk sekolah. Lama amat sih libur sekolahnyanya. Panas kepala gue seharian sama anak di rumah. Berantem terus.

Begitu sebuah pesan dari seorang teman di grup pesan sahabat saya.

Sebuah pesan lain bernada serupa menghampiri.

Me time mana me time. Boro-boro bisa bengong ngopi-ngopi baca buku. Ke kamar mandi aja digedor-gedor anak bayi.

Ibu muda dengan anak-anak balita seperti saya sangat mengharapkan waktu bengong yang Ibu saya miliki.Banyak sekali hal yang ingin kami lakukan dalam waktu bengong itu. Berjalan-jalan, membaca buku, atau bahkan cuma menikmati semangkuk mie instan tanpa gangguan rengekan atau tangisan anak.
Ibu saya megeluh terlalu sepi.
Kami, ibu muda, juga mengeluh terlalu ramai.
Ibu saya mengeluh tidak ada teman bicara.
Kami, ibu muda, juga mengeluh terlalu banyak kata-kata di rumah.
Ibu saya mengeluh terlalu banyak bengong.
Kami, ibu muda, juga mengeluh terlalu sibuk.

Ibu muda seperti saya tampaknya perlu hati-hati. Sekarang misuh-misuh terlalu ramai dan sibuk. Di masa tua, mungkin kita misuh-misuh juga terlalu sepi dan bengong.
Kesibukan dan keramaian ini hanya sebentar.

Sementara.

No comments:

Post a Comment