BOLEH
MEMBANDINGKAN ANAK DENGAN SYARAT INI
Jangan
membandingkan anak!
Nggak
usah ngebanding-bandingin, deh!
Begitu pesan yang sering saya
sering dengar dari para ibu dan orang tua. Mereka menghindari pembicaraan untuk
membandingkan anak yang satu dengan lainnya. Atau, dalam satu meme
diperlihatkan orang tua yang menghindar ketika ditanya “Anaknya sudah bisa
apa?” Dengan alasan tidak mau membandingkan anak, orang tua yang ditanya pun
menolak menjawab pertanyaan itu.
Tidak sedikit artikel
yang memuat soal bahaya membandingkan anak yang satu dengan yang lainnya.
Dikatakan bahwa membandingkan anak dapat membuat anak menjadi minder,
pendendam, tidak mudah bergaul, dan sederet karakter buruk lainnya.
Dalam artikel lain
disebutkan bahwa membandingkan anak dengan saudara atau temannya adalah salah
satu bentuk bullying. Perbandingan bisa memicu anak untuk lebih bersemangat
mengejar prestasi, namun bisa perbandingan dilakukan secara keliru, anak akan
merasa tidak dihargai. Itu tentu merupakan bullying karena anak merasa tidak
nyaman dngan diri sendiri.
Mendengar kata
“membandingkan” saja sudah menjadi seperti momok yang menakutkan bagi orang
tua. Seperti haram untuk diucapkan.
Sebenarnya apakah
membandingkan?
Menurut kamu besar Bahasa
Indonesia, membandingkan adalah sebuah aktivitas untuk mengetahui persamaan
atau selisih dari dua benda, hal, dan lainnya.
Sadarkah kita, bahwa
membandingkan adalah suatu aktivias yang tak bisa kita hindari?
Berat badan anak saya
sekian. Eh, kalo berat badan standar bayi usia segini berapa, ya? Begitu pula
dengan tinggi badan. Mudahnya, para ibu mencari tahu berat badan dan tinggi
badan standar bayi, membacanya, mencari tahu ukuran standar sesuai usia
bayinya, kemudian melihat lagi berat badan dan tinggi badan si bayi.
Lebih besar atau lebih
kecil?
Lebih tinggi atau lebih
rendah?
Membandingkan.
Itu soal fisik.
Perbandingan juga bisa
kita lihat dari kemampuan lainnya.
Siapa yang lebih cepat
bisa berjalan?
Siapa yang loncatnya
lebih tinggi?
Siapa yang lebih cepat
berbicara?
Dan juga dari anak
lainnya.
Kakak makan lebih banyak.
Adik lebih suka mewarnai.
Kakak lebih cepat
memahami instruksi.
Adik lebih cepat bergaul
dengan teman baru.
Atau membandingkan
keadaan si anak hari ini dan sebelumnya.
Kakak lebih cepat
menguasai bahasa Inggris daripada Bahasa Arab. Hari Kakak lebih banyak menangis
daripada bulan sebelumnya.
Apakah dengan melakukan
perbandingan membuat anak minder? Apakah dengan mengetahui berat badan si anak
lebih rendah daripada bayi lain seusianya lantas membuat anak minder dan tidak
brgaul?
Bisa iya, bisa tidak.
Anak minder bisa
merupakan akibat dari sebuah proses yang panjang. Ilustrasinya begini.
Kita katakan “Dek, kamu
lebih pendek daripada kakak.”
Kemungkinan si adik tidak
memberikan reaksi negatif, mungkin biasa saja. Tapi berbeda jika kita
mengatakan, “Dek, kamu lebih pendek daripada kakak. Pendek itu jelek. Jadi,
kamu lebih jelek daripada kakak.”
Bisa dilihat bedanya,
kan?
Mengemukakan hasil ukuran
yang objektif (terukur) tidak akan membuat anak menjadi buruk. Tambahan penilaian
yang subjektif lah yang membuatnya buruk, terdengar buruk. suatu
hasi ukuran dengan keburukanlah yang menjadikannya buruk. Dan jika dibiarkan
berulang-ulang berpotensi menimbulkan rasa minder pada diri anak.
Ada satu catatan yang
dapat dibuat untuk membuat perbandingan pada anak, yakni tetap objektif. Beberapa
hal yang bisa dilakukan:
1. 1 Bandingkan sesuatu yang memang bisa
diukur. Lebih cepat, lebih lambat, lebih tinggi, lebih rendah. Ada metode yang
jelas dalam pengukuran. Sebaliknya, hindari pengukuran dalam hal-hal yang
sifatnya relatif, seperti lebih cantik, tampan, jelek, keren, dan sebagainya.
2. 2 Gunakan bahasa yang santun ketika
mengevaluasi anak. Tidak karena dia anak kita, jadi seenaknya berbicara.
Gunakan bahasa yang santun dan objektif, serta memotivasi. Contohnya: “Prestasi
belajar adik menurun semester ini. Mengapa bisa demikian? Ada yang bisa ibu
bantu? Kalau ada kesulitan dalam pelajaran, kamu bisa coba belajar sama Kakak
deh” hindari “Jelek banget Dek, nilai kamu semester ini. Kok bisa gitu, sih?
Lihat Kakakmu tuh, pinter banget.”
3. 3 Stop nyinyir. Tidak hanya dalam hal
membandingkan anak, nyinyir seharusnya menghilang dalam berbagai aspek
kehidupan. Nyinyir tidak hanya perlu dihindari pada saat membandingkan anak
dengan yang lebih baik, tapi begitu pun sebaliknya. Contoh yang buruk: “Kamu
lebih cepat membaca ya, Dek, daripada teman kamu si X. Kamu keren Dek, si X
bodoh ya, membaca saja dia sulit.” Sebaliknya, ajakan anak tetap rendah hati
dan bersedia membantu. “Alhamdulillah adik sudah bisa membaca, ya. Nanti boleh
membantu teman-teman yang belum bisa membaca. Anak yang hebat mau mengajarkan
teman-temannya.”
No comments:
Post a Comment