Seperti sudah diceritakan sebelumnya di sini, kegiatan menyusui menjadi
salah satu penyebab masa-masa awal menjadi ibu membuat saya kesulitan. Waktu
hamil, saya sudah sering membaca artikel maupun buku tentang menyusui, dan
waktu itu tekad saya sudah bulat, ingin memberikan ASI eksklusif untuk bayi
selama 6 bulan, dilanjutkan dengan pemberian ASI hingga anak usia dua tahun.
Saya cukup percaya diri bahwa saya bisa melakukan hal tersebut. Analisis saya, secara
fisiologis, saya akan mampu memberikan ASI yang cukup. Mengapa? Ibu saya sanggup
memberikan ASI yang cukup bagi anaknya selama 20-24 bulan. Jika kemampuan
menyusui yang didukung dengan kondisi payudaranya diturunkan, berarti jika ibu
saya mampu, begitu juga dengan saya, kan? Begitu pikiran saya waktu itu. Ilmu
sudah dipelajari, motivasi sudah besar, tekad sudah kuat, makin mantaplah saya
untuk melakukan kegiatan yang katanya menambah bounding ibu-anak ini. Ketika anak lahir, dan saya mulai menyusui,
barulah saya tahu, bahwa menyusui itu TIDAKLAH MUDAH. Penuh drama! Proses
menyusui tidaklah semudah membuka kancing bajunya. Atau jika sekarang banyak
dijual baju menyusui tanpa kancing resleting, yang tinggal membuka lubang
diantara dua lapisan kain saja, proses memberikan asi kepada bayi tidaklah
semudah itu. Menyusui membutuhkan proses adaptasi yang besar dalam berbagai
hal, seperti:
1.
Flat nipple
Dikarenakan payudara saya berjenis flat nipple, jadi waktu awal-awal
menyusui, butuh perhatian ekstra supaya si bayi bisa latch on dengan benar. Payudara harus dipegang sedemikian rupa,
ditahan, supaya si nipple benar-benar
masuk ke mulut bayi, dan ASI benar-benar terhisap dengan baik. Sebagai tambahan, mulut bayi newborn masih mungil sekali, sehingga
masih perlu bantuan agar aerola masuk
ke mulut bayi. (teknik latch on bisa googling, ya!) Bisa dikatakan, menahan
payudara selama itu PEGAL BANGET! J
2. Menyusui = siap diinterupsi
Yaitu bersedia untuk menyetop kegiatan yang akan
dilakukan ketika panggilan untuk nenen
itu datang. Lagi enak tidur, “ngekkk” anaknya nangis, lagi masak “ngekk”, lagi
main, jalan-jalan, semua kegiatan, dimana pun, kapan pun, siap-siap untuk
diinterupsi. Kegiatan pun banyak skip-nya.
“Bentar yah, nenenin dulu”, itu kalimat pemberitahuan favorit kepada teman saat
chatting, makan bareng, hang out.
Oh, lantas bagaimana dengan ibu bekerja yang
menggunakan asi perah (ASIP)? Rasanya sama saja, ya. Atau mungkin lebih berat? Si
ibu perlu menyediakan waktu di tengah-tengah pekerjaannya. Teman pernah
bercerita ia meeting sambil memerah,
istirahat memerah lagi, bahkan sengaja bangun tengah malam untuk menambah tabungan
asip anaknya.
Pernah juga ngalamin jadi mamahperah, waktu babyEu dirawat karena kadar bilirubin yang tinggi |
3. Mastisis meringis
Rasanya semua ibu menyusui pernah mengalami hal
ini, ya. Rasanya nggak enak banget, deh. Payudara kita bengkak, memanas dan
sakit luar biasa. Seperti disayat sembilu. Kabar ‘baiknya’, hal itu bisa
berlangsung berhari-hari. Siap-siap meringis! :D
Baby Eu juga pernah nyicip sufor ini sekian puluh mililiter, karena ASIP yang di atas itu tidak mencukupi sampai waktu malam |
Tuntunan yang bagus untuk ngASI |
Tapi meski demikian, menurut saya pribadi, pilihan memberikan ASI tetaplah pilihan yang lebih mudah daripada harus minum susu formula. Masalah nutrisi, kandungan asi, sudah semua busui tahu deh. Saya tidak akan membahas soal itu. Menurut saya, ngASI meski penuh drama, tapi lebih praktis, lebih mudah, karena:
1. Mengurangi gembolan bekal ketika bepergian
Ketika kita memiliki bayi, volume bagasi bisa meningkat
tiga kali lipat. Banyak sekali yang barang-barang bayi yang harus dibawa:
pakaian ganti yang jumlahnya lebih banyak dari pakaian ibunya, diapers, mainan,
tissue basah dan kering, stroller, gendongan, selimut, dlsb.
Jika bayi kita mengonsumsi susu formula, siap-siap
gembolan bertambah lagi menjadi empat kali lipat. Tambahan beban itu, karena
kita harus membawa sejumlah botol dot (dan cadangannya), alat-alat pencuci dot,
kaleng susu bubuk, sendok, dan termos.
Dengan demikian, ngASI berarti mengurangi seperempat
beban gembolan dibanding menggunakan sufor. Seperempat itu kedengeran sedikit
dan tidak terlalu signifikan? O-ow, pekerjaan tidak hanya bertambah pada
membawa tambahan gembolan saja, tapi juga pada aktivitas membersihkan,
membereskan alat-alat yang digunakan untuk bayi ngedot.
2. Gak khawatir masalah bakteri
Botol dot harus selalu melalui proses sterilisasi
sebelum digunakan, proses pencucian harus menggunakan sabun khusus. Belum lagi
drama dotnya meleleh, gara-gara kepanasan waktu direbus (sterilisasi). Berbeda dengan
payudara yang sudah steril dari sononya.
No sterilizer, anti layu, anti rusak.
:D
3. Biaya susu formula yang jika dikalkulasikan untuk dua tahun minum susu formula bisa dipergunakan untuk jajan-jajan cantik ibu dan anak
4. Bagi ibu menyusui, cukup melakukan satu langkah untuk meredakan kehausan bayi sangat mudah, tinggal buka kancing baju, lep, bayi pun bisa minum. Sementara yang nyufor, harus melakukan sejumlah langkah. Dari mulai menyiapkan botol, susu, campur air panas, dan ini, dan itu.
Jadi, meski proses menyusui memang penuh drama di awal, tapi bagi saya pribadi, itu menjadi pilihan yang paling baik dan terutama praktis. Hehehe. Semoga saya bisa menyusui Eureka hingga dua tahun, hingga anak kedua, ketiga dan seterusnya. Aamiin. Jujur, sampai sekarang terkadang masih suka nggak sabar karena banyak diinterupsi, namun yang selalu saya ingat adalah bahwa drama ini cuma dua tahun, dan manfaatnya seumur hidup. Bersusah-susah sebentar, demi kesehatan anak, kekebalan tubuh yang baik, dan terutama bounding antara ibu-anak. Mantra saya yang selalu saya ucapkan jika sedang tidak sabar adalah “Kalem Mom, drama pasti berlalu”. Kecuali jika habis menyapih, langsung bersiap untuk menambah momongan, maka Si Momom harus bersiap estafet jadi sapi perah, deh. Hahaha.
No comments:
Post a Comment