Sunday, August 2, 2015

BABY BLUES: SAKITNYA TUH DI SINI

“HOOAAAAA..OOAAAA, “ nyaring sekali tangis pertama Eureka ketika lahir. Seperti menular, saya pun jadi ikut menangis. Entah apa yang menyebabkan saya menangis. Yang terasa adalah dada saya penuh, sesak, emosional. Saya pun menangis sesenggukan. Kedua dokter anestesi yang berada di belakang kepala saya sampai harus menenangkan saya. Apakah itu tangis bahagia karena telah melahirkan? Rasanya bukan. Yang saya rasakan setelah mendengar tangis Eureka adalah…aneh, asing, bingung.
Setelah Eureka berhasil dikeluarkan dari perut, saya pikir sebentar lagi saya akan segera keluar dari ruang operasi. Ternyata saya keliru. Proses menyakitkan terjadi setelah itu. Saya rasakan perut saya seperti dikocok-kocok. Mual rasanya. Saya tanya pada dokter anestesi yang berjaga, “Perut saya lagi diapain, dok?”, dokter menjawab, “Perut Ibu sedang dibersihkan. Sebentar kok, nggak lama”, dan ternyata sebentar yang dimaksud adalah setengah jam. Menahan rasa mual dan beberapa kali mau muntah selama itu pastilah bukan hal yang menyenangkan. Rasanya sungguh menyiksa. Sampai akhirnya perut selesai dibersihkan, proses operasi tuntas, keljuar dari ruangan operasi, bukan lega yang terasa, melainkan sedih, sedih, sakit, sakit luar biasa.
***
Candid pict taken by Hubyy. Muka saya jutek banget ngelihatin si bayi

Pertama kali saya mendengar istilah baby blues adalah waktu semasa kuliah, saat ada seorang teman (@niajaniar) yang menanyakan hal itu pada dosen yang mengajar mata kuliah Psikologi Umum I. Yang waktu itu saya tangkap, pengertian baby blues syndrome adalah kondisi dimana seorang wanita merasa sedih dan tidak berdaya setelah melahirkan. “Kok bisa, ya?!,” demikian pikiran saya waktu itu. Bukankah seharusnya seorang perempuan berbahagia karena telah melahirkan, memiliki bayi, makhluk lucu, kecil dan menggemaskan?

Sewaktu akhirnya saya hamil, kadang bertanya-tanya, apakah nanti saya akan mengalami baby blues? Sebelumnya, nggak pernah sama sekali dengar cerita orang yang mengalami baby blues. Ups, ralat, pernah ding sekali saya dengar teman cerita ia mengalami baby blues, karena pada hari-hari pertama kelahiran bayinya, ASI-nya belum keluar.

Sewaktu setelah melahirkan, saya dilanda kesedihan, waktu yang terpikir waktu melihat Eureka bayi adalah “Kamu siapa? Tiba-tiba muncul di hadapanku, dan tahu-tahu aku harus mengurus kamu?”
Waktu itu sempat terpikir seorang teman yang pernah bercerita “Pokoknya setelah lihat bayinya, sakit melahirkan langsung terobati, rasanya luar biasa!”, dan saya bertanya-tanya pada diri sendiri, kok aku nggak gitu yah? Kok, hemm..rasanya aku nggak bahagia? Malah merasa sedih, dan yang paling dirasa sih sakit. Sakitnya tuh di sini. Di sini dalam artian:


1. Trauma Operasi 
Saya tidak menyiapkan diri untuk proses melahirkan dengan cara operasi sesar. Masa kehamilan dilalui dengan lancar, tanpa keluhan yang menyakitkan seperti muntah-muntah yang bisanya dialami bumil lain. Setiap cek kandungan rutin pun, dokter selalu memberikan laporan yang baik. Tapi ternyata, persalinan normal tidak memungkinkan, karena tidak ada pembukaan dan kontraksi hingga menjelang minggu ke-41 kehamilan, dan mengharuskan saya untuk menjalani operasi sesar. Ternyata, leher bayi terlilit ari-ari, sehingga kepala bayi tidak bisa masuk sempurna ke panggul. 
Menjalani proses operasi mungkin sudah cukup menyakitkan. Ditambah dengan kondisi tidak siap, menjadikan rasa sakitnya saya semakin besar.


2. Adaptasi 
Kehadiran manusia baru di tengah-tengah keluarga membutuhakn proses adaptasi yang sangat besar. Waktu itu saya cukup shocked  betapa kita tahu-tahu bertanggung jawab atas hidup-mati seseorang (baca: anak yang baru dilahirkan). Kita bertanggung jawab atas kebersihan tubuhnya, lapar-kenyangnya, sehat-tidaknya, dan segala hal yang merngharuskan kita berlelah-lelah mengurusi sang anak.


3. Menyusui 
Sebelum melahirkan, saya pikir menyusui itu mudah sekali, tinggal buka kancing baju, lekatkan payudara pada anak, selesai, deh. Ternyataaaa..proses pelekatan (latch on) dalam menyusui membutuhkan adaptasi. Mulut bayi yang sangat mungil harus kita posisikan sedemikian rupa supaya bisa melekat sempurna, dan bisa menyusu dengan baik. Sakit-sakit lecet pada puting payudara,  bengkak, tak bisa terhindarkan, dan harus ditahan. Namun demikian, alhamdulillaah, meski mengalami baby blues, dan stress awal menyusui tidak mengurangi tekad saya untuk memberi ASI eksklusif dan tidak mengurangi produksi Asi pada saat itu.



My Hubby is My Counselor
Suami dari awal sudah bisa mendeteksi sindrom baby blues yang saya alami. Mengapa? Katanya, ada beberapa indikasi: pertama, saya menangis sesenggukan ketika keluar dari operasi, bahkan ketika si bayi diperlihatkan pertama kali kepada saya, saya malah menangis dan menunjukkan wajah sedih. Ini berbeda sekali dengan dirinya yang merasa sangat jatuh cinta kepada si bayi ketika pertama kalinya melihat bayi. Kedua, istri terus-terusan berwajah jutek dan manyun sampai sore, esok hari, dan esok seterusnya.

Setelah seminggu lebih mengalami sindrom ini, pada akhirnya saya tiba pada waktunya mencurahkan isi hati saya mengenai apa yang saya rasakan selama ini, pada suami saya. Kembali, proses curhat ini pun berlangsung penuh deraian air mata. Saya jujur mengenai perasaan saya menjalani operasi, masa penyembuhan pasca operasi, terhadap si bayi, terhadap betapa sulit dan menyakitkannya menemukan posisi latch on dalam menyusui, terhadap betapa melelahkannya harus bangun setiap saat untuk menyusui.
Ada dua hal yang berhasil menyembuhkan sindrom yang saya alami: waktu dan dukungan keluarga. Suami melalukan banyak tugas seperti mencuci popok (saya tidak langsung menggunakan diapers pada saat itu), alas ompol, pakaian bayi, memandikan bayi jika mama saya sedang keluar rumah, mengganti popok, sampai membantu menyodorkan bayi jika menangis di malam hari untuk disusui. Perlahan setelah saya cukup pulih dari luka operasi, bisa cukup bergerak lebih baik, saya mulai mengambil alih pengurusan bayi. Saya belajar memandikan bayi. Awalnya masih berdua suami, lama-lama bisa sendiri. Memasang kain bedong, mengganti popok, dan lain sebagainya.
Semakin banyak menyentuh, melihat wajahnya, mendengar suaranya, perlahan tumbuh rasa kasih, sayang, gemas, pada bayi. Alhamdulillaah.. Perlahan saya semakin sadar akan tanggung jawab yang saya emban. Perlahan saya semakin ikhlas menjalani peran sebagai seorang ibu. Keberadaan anak yang awalanya saya anggap asing, kemudian bisa saya kasihi. Tugas mengurus anak yang awalnya dirasa berat, perlahan saya nikmati. Lelah yang semula saya rutuk, perlahan bisa saya syukuri: terima kasih Tuhan, telah memberikan hamba kesempatan yang besar untuk beramal sholeh, titipan rezeki, dan teman hidup yang manis.

No comments:

Post a Comment