*Stay At Home Mom = SAHM
*Working Mom= WM
Dulu saya berpikir, bahwa
idealnya, setelah memiliki anak, seorang perempuan hendaknya menjadi ibu rumah
tangga saja, tidak bekerja. Ia mengurus anaknya sendiri, memastikan pangan,
sandang, kesehatan, permainan, pergaulan, dan seluruh kehidupan yang berkaitan
deng an si anak. Darimana saya mendapatkan pemikiran seperti itu? Mungkin
melihat ibu saya menjadi ibu rumah tangga, bisa mengurus anaknya dengan baik,
dan melihat sekeliling saya, ibu-ibu bekerja tampak seperti kesulitan untuk
mencari pengasuh atau menitipkan anaknya dimana. Dan lagi saya melihat, orang
yang dititipi anak tidak bisa menjadi pengasuh yang ideal. Nenek-nenek yang
dititipi terlalu memanjakan anaknya, sementara itu, mbak-mbak yang dititipi
anaknya terlalu permisif. Jadilah saya berkesimpulan, secara idela, saya akan menjadi
ibu rumah tangga kelak.
Setelah dewasa, terutama ketika
kuliah, pikiran saya menjadi semakin luas. Jika memang semua ibu idealnya
menjadi ibu rumah tangga, berarti kita tidak akan menemukan berbagai profesi
yang berjenis kelamin wanita dong, ya? Misalkan polisi wanita yang memang
dibutuhkan? Atau saya akan kesulitan ketika mencari dokter kandungan perempuan,
karena tidak nyaman dengan dokter kandungan laki-laki? Mungkin kita juga tidak
akan menemukan sosok “ibu guru”, karena semua orang yang berpendidikan guru,
memilih menjadi ibu rumah tangga? Lalu kita tidak bisa menemukan seorang ibu
yang menjadi psikolog anak, profesi-profesi lainnya yang “sifatnya keibuan”
seperti perawat? Bidan? Dokter anak? Guru? Sekretaris? Jika memang seorang
perempuan juga dibutuhkan secara profesi, lantas bagaimana kondisi yang ideal
ya, apakah ia harus menjadi ibu rumah tangga sja, atau jika harus bekerja,
bagaimana seharusnya ia menjadi ibu bekerja?
Kemudian saya mendapati ibu dari
teman-teman yang bekerja, tetap menjadi anak yang bahagia, pendidikannya baik.
Ketika kecil, rata2 mereka memiliki asisten rumah tangga, dan atau ditemani
pula oleh neneknya. Ada pula yang menitipkan pada saudara selagi ibunya
bekerja. Atau sekarang muncul lembaga-lembaga penitipan anak, bisa dimanfaatkan
di sana sambil anak bermain dan belajar, dan ibu bekerja.
Apakah saya kemudian ingin
mengubah posisi dari SAHM menjadi WAHM? J
Tidak juga sih. Mungkin saya harus menunggu anak cukup besar untuk ditinggal
untuk bisa bekerja. Ada semacam kerinduan, “duh kapan ya gue bisa..sekolah
lagi/bekerja? Nunggu anak sampai umur berapa nih, kok nggak gede-gede ya?”
hahaha. Jika menunggu anak untuk disapih, terus lanjut mikir, apa udah bisa
bekerja atau belum nih.
Tapi jika melihat kondisi ibu-ibu
rumah tangga yang anaknya sudah besar kisaran SMA, kuliah, atau bekerja, kita bisa
mendapati banyak ibu rumah tangga yang kurang produktif. Mungkin jadinya ia
jadi kebanyakan nonton tv aja, di sisa waktu mengurus rumah-dapur. Banyak
sekali waktu luang. Berarti di sini ada kekosongan waktu yang memang bisa
dimanfaatkan untuk bekerja. Benar, tidak? Seperti mama saya yang kadang suka
kesal di rumah, jika kebetulan tidak ada undangan pengajian/ceramah.
Mungkin menjadi SAHM ini hanya
sementara, selama anak masih kecil, butuh perhatian, mungkin sampai anak lulus
SD? Tapi ada juga WM yang beranggapan jika anak sudah remaja, anak butuh
perhatian lebih, dan ia akan berhenti bekerja untuk mengurus anak. Hemm..beda
sudut pandang, ya.
Saya sendiri belum memutuskan,
akan sampai kapan menjadi SAHM, karena rindu sekali ingin menjalankan profesi,
ingin sekolah lagi, ingin bekerja. Apakah setelah anak pertama bisa cukup
ditinggal atau dititipkan? Apakah mau produksi anak dulu sesuai keinginan
(hahaha), lalu baru bekerja? Entah ya, ini masih menjadi bahan diskusi panja ng
bersama sang suami J
Mana yang lebih baik atau buruk, SAHM atau WM?
SAHM atau WM itu sama-sama bernilai
nol. Untuk menjadi SAHM atau WM yang positif (baik) atau negatif (buruk), ya
tergantung dia SAHM atau WM yang seperti apa. Selain itu, bisa juga dilihat kondisi
anak dan keluarganya bagaimana.
Menurut pandangan saya, saya akan
menjadi SAHM yang buruk jika:
- - Di rumah kerjanya nonton tv, nonton gossippppp
- - Anak juga diajak nonton tv aja
- - Masak seadanya atau jajan junkfood aja
- - Rumah bersih-bersih seadanya
- - Banyak leha-leha main handphone
Atau jika saya membayangkan diri
saya menjadi WM. WM yang buruk adalah yang:
- - Fokus bekerja dan tidak membuat rencana di pagi
hari, memastikan anak makan apa, main apa, bagaimana
- - Pergi dinas seenaknya
- - Titip-titip anak sebanyak-banyaknya
seenak-enaknya
- - Pulang langsung istirahat bobo, tanpa take times with kiddos and husband
Kalau SAHM atau WM yang baik
gimana dong? Sebenarnya, saya percaya, secara fitrah, seorang ibu selalu
menjadikan rumah dan anak sebagai prioritasnya. Mungkin WM atau SAHM yang seperti saya jelaskan di atas lagi khilaf
kali ya :P Yang ada di dalam pikiran seorang ibu pastilah anak makan apa
hari ini, main kemana ya biar dia senang, beli buku apa ya, tidurnya cukup atau
nggak, rumah harus beres, suami harus sehat, kebutuhan rumah tangga apa yang
sudah habis dan urgent dibeli, and so on and so on.
|
Mungkin ini alasan sebagian ibu memilih menjadi SAHM :) gambar diambil dari sini |
Perbedaannya, seorang SAHM
mungkin memiliki waktu yang lebih fleksibel untuk langsung mengerjakan apa-apa
yang menjadi kebutuhan rumah dan anaknya, sementara WM perlu mengatur siapa
yang akan membantu dirinya untuk menunaikan tugas rumah tangga dan pengasuhan
anak sementara waktu. WM bisa meng-hire
ART, menitipkan anak pada nenek/kakek si anak atau pada lembaga penitipan anak
terpercaya. Jika memang semua sudah terkendali, semua aman kok. Tidak ada yang
salah dengan kondisi “ibu bekerja”, tidak ada di rumah, tidak menemani anak
sepanjang hari. Semua soal pilihan. Jika memang semua mendukung dan memutuskan
untuk menjadi WM, it’s OK. Sebagian WM mungkin memutuskan untuk resign untuk menjadi SAHM. Itu pun oke J Masing-masing pilihan,
baik menjadi SAHM ataupun WM sama memiliki keuntungan dan kerugian
masing-masing. Pilihan ibu anu mungkin tidak sama untungnya dengan ibu yang
lain. Misal, seorang ibu yang single
parent tentu lebih memilih bekerja untuk mendapatkan penghasilan, ibu lain
yang memiliki anak berkebutuhan khusus memilih menjadi SAHM untuk lebih optimal
menemani tumbuh kembang anak.
WAHM is a new SAHM?
Sebuah artikel mengatakan bahwa working at home mom is a new stay at home
mom. Saya setuju, WAHM itu adalah seperti sebuah jalan tengah yang damai antara
working mom dan stay at home mom. Sang ibu bekerja, namun tetap berada di rumah.
Bekerja bisa dimulai dari mana
saja. Sebuah artikel mengatakan membagi beberapa jenis ibu: green mom, artsy mom, churchy mom, atau high
tech mom. Kita bisa mulai darimana saja yang kita sukai. Yang ke depannya
bisa jadi menghasilkan penghasilan.
Kalau bingung-bingung mau jualan
apa. Sudah lupakan apa yang bisa dijual. Menurut saya, lebih baik, apa yang
kamu sukai. Suka baca, ya baca dulu; nulis, ya tulis dulu; ngobrol ya ngobrol
dulu; masak ya masak dulu; gambar ya gambar dulu. Atau jika memang sudah
memiliki profesi yang jelas, ya baiknya dilanjutkan saja J
Selain dari apa yang memang
disukai, sebuah pekerjaan bisa jadi datang dari upaya kita mempelajari sesuatu
yang baru. Jadi ibu, tentu tidak membebaskan kita dari kebutuhan untuk belajar.
Kita perlu untuk mempelajari banyak hal baru, mencari pengetahun dari berbagai
sumber, menambah keahlian yang semula tidak kita miliki, biar kita menjadi ibu
cerdas J
Betul bahwa menjadi WAHM bukan
tanpa drama. Kita mungkin memerlukan banyak penyesuaian, seperti mengatur waktu
antara bekerja dan mengurus rumah, memberi anak pengertian ketika kita bekerja,
dan lain sebagainya. Saya pribadi merasa WAHM
is an ideal mom. Ingin banget jadi WAHM, tapi masih belum kesampaian karena
anak masih under 2 yo, masih nenen, masih belum bisa mengatur waktu. Mungkin kalau
anak sudah agak besar bisa ditinggal dan anteng sendiri, bisa mulai bekerja. Sekarang
waktunya saya belajar duluuuu aja :D
Mengapa WAHM adalah sosok ibu ideal?
Saya setuju dengan pendapat mommy hebat-envyable yang satu ini:
|
Saya ingin sukses, terutama menjadi istri dan ibu, tapi juga ingin bermanfaat untuk orang lain :) |